Archives

Mantan Orang Sholeh

“Duh gimana dong, gue udah gak sholeh lagi nih…”

Well, kalimat ini beberapa kali saya dengar dari teman-teman yang sudah lulus, bahkan saya sendiri pernah sempat mengatakannya. Awalnya karena mengikuti jalan cerita sang penutur alur, kalimat ini terdengar pas-pas saja dengan fakta. Namun ketika saya sedikit memikirkan kalimat ini lebih dalam, berusaha memandirikan kalimat tersebut dan membreakdown sekenanya, saya pikir kalimat ini agak… Mmm entahlah, mungkin kamu bisa bantu saya mendefinisikannya.

Dulu, ketika di kampus, kehidupan seperti lapangan yang dipenuhi ranjau amanah. Geser kiri dikit, amanah. Guling-guling kanan banyak, amanah. Koprol ke depan, eh amanah juga.

Dulu, ketika di kampus, mau rapat? Salman. Syuro? Salman. Janjian makan? Sekitar salman. Mau bayar utang? Depan tempat sepatu salman juga.

Dulu, ketika di kampus, jam enam pagi ngapain ke kampus? Syuro. Sebelum makan siang mau kemana? Ngementor. Weekend sibuk apa? Liqo dan tatsqif. Libur panjang ada apa? Dauroh.

 

Kini?

Gue sibuk, weekday kerja, weekend capek. Akhirnya, tilawah menipis.

Gue ada survei keluar kota, pulangnya pasti capek beut. Akhirnya, jarang QL.

Gue besok meeting sama klien di Ibukota, berangkat mesti pagi-pagi banget. Akhirnya, dhuha pun lost.

…dan-se-ba-gai-nya.

 

Imam Hasan Al Banna mengatakan, “Adapun tingkatan amal yang dituntut dari seorang al akh yang tulus adalah perbaikan diri sendiri, sehingga ia menjadi orang yang kuat fisiknya, kokoh akhlaknya, luas wawasannya, mampu mencari penghidupan, selamat aqidahnya, benar ibadahnya, pejuang bagi dirinya sendiri, penuh perhatian akan waktunya, rapi urusannya, dan bermanfaat bagi orang lain. Itu semua harus dimiliki oleh masing-masing al akh.”

Ya kawan, beberapa dari kita mulai merasa bahwa the life has changed significantly. Hal yang biasa kita lakukan di kampus, hampir gak dilakukan lagi. Bahkan kalau bisa, “eh deka, jangan deket-deket gue dong…!”

Lupa atau ingat, sadar ataupun tidak, nahnu du’aat qobla kulli syai’in. Bagi Allaah, kita tetaplah agen-agen-Nya yang siap menyebarkan kebenaran dan kebaikan. No matter how you doin’ now. Kuliah, riset, kerja, freelance, NGO, LSM, dan lainnya, kita masih da’i dan akan tetap selalu menjadi seorang da’i hingga pertanggungjawaban kita sebagai da’i di hadapan-Nya lunas nas nas nas!

Memang bukan berarti harus da’wah di kampus, atau harus syuro di Salman untuk menganggap diri ini masih sholeh. Saya pikir, standar sholeh di lingkungan aktivitas baru sangat mungkin berbeda, levelnya beda, tantangannya beda. Dan di lingkungan baru itu, kita tetaplah da’i, hey!

Harus kita sadari, da’wah ini akan tetap melaju, bahkan semakin kencang menuju kepada kejayaan Islam, dengan atau tanpa kita. Ya, dengan atau TANPA KITA, semakin hari Islam semakin dekat dengan kejayaan yang telah Allaah janjikan. Justru, kitalah yang membutuhkan da’wah.

Jadi logikanya, kita boleh berpikir kalau diri kita “udah gak sholeh lagi”, tapi “udah bukan da’i lagi” itu gak akan pernah terjadi. Dan seorang da’i merupakan teladan bagi (da’i) yang lain. Dapatkah seorang yang tidak baik (tidak sholeh) dijadikan teladan? Maka, yuk bareng-bareng berusaha untuk tetap sholeh bahkan lebih sholeh untuk menjadi da’i yang berkualitas. Da’wah memang bukan segalanya, namun segala bisa menjadi tak berguna apabila kita tidak niatkan untuk berda’wah.

Suatu saat nanti, jika kita bertemu kembali sebagai seorang engineer, saintis, entrepreneur, politikus, dosen, dan sebagainya… Sebenarnya saat itu saya sedang bertemu dengan seorang da’i yang berkecimpung sebagai seorang engineer, saintis, entrepreneur, politikus, dosen, dan sebagainya pula. Maka, jagalah status da’i-mu selagi mengejar status-status baru lainnya. Status-status itu tidak saling mengganti, namun saling melengkapi.

 

Jika komitmen terhadap dakwah benar-benar tulus, maka setiap orang yang kurang teguh komitmennya akan menangis, sementara yang bersungguh-sungguh akan menyesali dirinya karena ingin berbuat lebih banyak dan berharap mendapat balasan serta pahala dari Allah. – Komitmen Da’i Sejati, Muhammad Abduh

 

Status mahasiswa boleh hilang, tapi status da’i kita bawa mati, kawan!

 

*tulisan ini juga dipublish di Islampos: http://www.islampos.com/lagi-lagi-mantan-orang-sholeh-70070/

Mengenang Wafa

Kami membereskan perlengkapan pribadi dan medis kami masing-masing yang akan kami bawa serta menuju Jalur Gaza. Satu persatu bawaan kami masukkan ke dalam sebuah mobil van berwarna putih. Di bagian samping van itu bertuliskan sebuah nama organisasi tempat kami berafiliasi, Bulan Sabit Merah Indonesia.

Pagi ini terasa seperti pagi-pagi biasanya, meski sebenarnya panggilan pagi ini tergolong panggilan darurat. Mungkin batas stres kami sudah terlalu kabur—karena sehari-hari kejadian mengerikan berlangsung tepat di depan mata kami dan juga dalam sepekan ini ada beberapa panggilan darurat—sehingga kami tak mampu lagi membedakan keadaan sangat genting atau cukup genting. Hal yang pasti adalah segera bergerak sesigap-sigapnya.

“Dimas kenapa ngelamun? Kamu sehat? Lihat Vina, gak?” tanyaku pada salah satu anggota tim cepat tanggap kami.

“Mmm, aku gak apa-apa Gi. Kayaknya dia lagi di barak deh, tadi aku lihat dia jalan cepat gitu ke arah sana,” Dimas menjelaskan dengan mengarahkan jari telunjuknya ke arah barak pengungsi.

“Ah, lagi…” pikirku. Aku melempar senyum pada Dimas, “Oke, aku panggil Vina dulu ya, terus kita langsung berangkat.”

Kutelusuri jalan selebar empat manusia yang menjadi jalan utama kamp tempat kami menetap sementara di dekat Ramallah, tepatnya di kamp Al-Amari. Aku mencari-cari sesosok gadis muda sahabat sejak SMA, sekitar delapan tahun silam. Sedikit lagi aku sampai pada barak keluarga yang kutuju, namun seorang gadis berjilbab ungu muda cerah telah dulu berlari kecil ke arahku.

Ia benar-benar hampir menabrakku. “Hei Gi, ada apa? Yuk yuk berangkat!” Tangan kirinya menepuk pundakku. Ia mencoba tersenyum sambil mengatur napas.

Aku memiringkan kepalaku sedikit untuk melihat pandangan di belakang punggung Vina. Sebegitu cepat pula responnya untuk menggeser tubuhnya dan memamerkan senyum lebarnya padaku, “Giyaaa, gak ada apa-apa kaliii. Tadi aku cuma mengantar jus buah ke keluarga Idris. Hehehe…” Gadis koleris yang ceria ini berhasil memutar tubuhku dan kami pun bergerak menuju van, kami sama-sama tahu harus segera berangkat.

Vina, Aku, Rico, Dimas, dan Syihan sudah lengkap dengan jubah putih dokter kami dan masuk ke dalam van. Kami mengecek ulang semua barang-barang. Vina adalah ketua kelompok aksi cepat tanggap Bulan Sabit Merah Indonesia. Seorang gadis yang sangat bersemangat dan mampu menjaga kewarasan kami ketika banyak sekali tekanan yang kami dapatkan baik dari pasien kami, para pejuang atau mujahid, ataupun dari kondisi lapangan yang begitu sulit diprediksi.

“Akhir-akhir ini aku sering melihatmu mengunjungi keluarga Idris. Ada apa sih? Kok gak pernah cerita-cerita?” Tanyaku sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada, pura-pura merajuk agar ia mau membagi isi kepalanya.

Ia tertawa kecil. “Haha. Gak ada apa-apa kok… Beberapa hari yang lalu, waktu aku mengunjungi barak-barak pengungsi, aku terjebak dalam obrolan dengan keluarga Idris. Kami mengobrol tentang anak perempuan keluarga Idris yang meninggal tujuh tahun lalu.”

“Oh… Innalillaahi wa inna ilayhi raaji’uun… Memangnya ada apa dengan anak perempuannya?” Aku menjadi sedikit ingin tahu.

“Ia sama seperti kita dulu, seorang perempuan relawan medis Palestina. Ia benar-benar seseorang yang sangat menginspirasi…”

“Hmm, apakah ia meninggal saat perang berlangsung?” Rasa ingin tahuku dijawab singkat oleh Vina dengan sebuah anggukan kecil dan pandangan yang agak menerawang. “Menjadi relawan seperti ini memang beresiko, bahkan nyawa. Kita harus berhati-hati dan menjaga diri baik-baik,” Aku melanjutkan. “Kamu juga ya, Vin!” Ia hanya tersenyum.

Perjalanan pagi itu diselingi hujan deras yang membuat seisi van kami cukup hening, masing-masing kami sibuk dengan ayat-ayat-Nya. Ada yang hanyut dalam indah bacaan Al Qur’an, sedangkan sebagian lain mengulang hapalannya karena tidak ingin kalah dengan jumlah hapalan Al Qur’an anak-anak Palestina.

“Sepuluh menit lagi,” Syihan mengingatkan Vina yang berada di hadapannya, bahwa perjalanan van pagi ini akan segera berakhir.

Bismillahirrahmaanirrahiim. Saudara-saudaraku, Giya, Syihan, Rico, dan Dimas.” Ia memandangi kami satu persatu, berusaha mengalirkan energi positif dalam dirinya menuju kami. “Hari ini, sekali lagi kita akan memberikan seluruh jiwa raga kepada ummat. Tidak ada yang mampu mengganti keikhlasan kita, selain Allah di surga-Nya kelak. Hidup ini hanyalah sebuah tempat singgah dengan tujuan membedakan manusia yang banyak amalnya dengan yang tidak. Kemudian dengan segera, manusia-manusia itu akan kembali kepada Allah. Benar-benar dengan segera.”

Vina menggenggam tanganku erat. Entah apa yang baru saja keluar dari mulut ketua kelompok kami, namun pada titik ini aku merasa sangat sedih. Rico merangkul Dimas dan Syihan di kanan dan kirinya. Menepuk-nepuk pundak satu sama lain, saling melempar senyum dan saling menguatkan.

Kami disambut oleh beberapa rekan media yang sedang meliput kejadian yang pecah tadi pagi. Ketiga pria sigap mengeluarkan barang-barang dari van. Beberapa media sedang mewawancarai seorang pria yang langsung meminta izin untuk menemui kami.

Salam ‘aleykum warahmatullaah. This way, this way…” Pria ramah berperawakan Arab yang tingginya hampir mencapai dua meter itu langsung mendampingi kami menuju barak tempat para relawan medis lainnya menindaklanjuti mujahid-mujahid yang terkena luka tembak, serangan represif tentara Israel, ledakan bom dan rudal, serta luka-luka lainnya. Mereka antara enggan mati untuk terus berjuang bagi negara dan agamanya atau pasrah dijemput Izrail yang aku yakin sudah berkeliaran di sini sejak matahari terbit.

Pemandangan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari kami. Suara-suara yang kami dengar dari mulut ke mulut hanyalah nama Ilah mereka yang dibumbui dengan rintihan perih akibat menahan luka yang menganga. “Asyhadu allaa ilaaha… Illallaah… Wa asyhadu annaa… Muhammad… Rasulullaah…” Betapa mereka berada di antara keindahan dunia dan akhirat. Aku iri.

Vina menghampiriku yang sedang melihat sekilas keadaan barak pengungsi di Jalur Gaza ini. “Gi, Gi. Kumpul bentar yuk. Ada sedikit briefing dari koordinator relawan medis di bangunan tempat penyimpanan makanan, medis, dan lain-lain di sebelah…”

“Oh oke, Vin,” aku mengangguk.

“Tolong cari Rico ya, kasitau juga supaya kumpul di luar sekarang. Cuma sekitar sepuluh menit kok.” Ia tersenyum lembut sambil memegang kedua bahuku. Aku mulai mencari Rico dan sepertinya Vina lanjut menghampiri Syihan dan Dimas.

Dalam ruangan tersebut, layar televisi sedang menanyangkan gambar seorang lelaki yang menutupi hampir seluruh kepala dan wajahnya dengan kaffiyeh bermotif kotak merah-putih. Ia berbicara bahasa Arab sambil menyandang sebuah senapan Kalashnikov di tangan kiri dan Al-Qur’an yang didekapnya di depan dada dengan tangan kanan. Ia adalah salah seorang mujahid dari laskar yang memiliki misi bom syahid. Menyampaikan pesan terakhir memang seperti suatu ‘standar pelaksanaan’ yang menjadi rangkaian peledakan diri.

Kami memang sempat memperhatikan layar televisi, namun tak lama kemudian koordinator relawan medis datang dan briefing pun di mulai. Sekilas aku tak sengaja mendapati wajah Vina. Aku dapat merasakan wajahnya menjadi serius, matanya tak berkedip, dan rahangnya mengeras. Sayangnya, kami semua harus segera mengalihkan perhatian kepada bapak koordinator relawan medis yang menyambut kami pagi tadi.

Sejak setelah briefing hingga siang kami terus mendapat ‘suplai’ mujahid-mujahid yang cedera. Sesekali kami bergantian untuk sholat fardhu dan mengganjal perut kami dengan roti gandum dan susu. Siang ini memang sangat padat, tak hanya pikiran, namun juga hati kami lebih dipadati oleh kemuakan dan kemurkaan pada tentara laknatullaah itu.

Aku ingat salah satu pasienku adalah seorang anak kecil berumur sekitar tujuh tahun yang ditembak tepat di bahu kanan dan paha kirinya. Saksi mata yang menggendong badan mungil yang terkulai bersimbah darah itu kemari, bercerita bahwa hal itu terjadi beberapa detik setelah anak kecil ini melemparkan batu kerikil ke arah tentara yang berjaga di samping tank yang berpatroli mengacak-acak rumah dan keluarga warga sipil Palestina.

Adapula pasien Rico, seorang ibu yang melahirkan dalam keadaan sekarat akibat tertimpa puing-puing runtuhan bangunan. Entah bagaimana ceritanya, seorang ibu yang tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengejan, mampu melahirkan bayi yang sehat dengan begitu lancar. Meskipun pada akhirnya ibu itu tidak ditakdirkan untuk melihat bayinya. Maha Suci Engkau, yaa Allah…

Berbagai perlengkapan medis terus dikirimkan. Perlengkapan yang paling banyak kami habiskan antara lain: alkohol dan berbagai cairan desinfektan, kapas, serta kassa untuk membungkus luka. Aku merasa semakin hari, kemampuanku menjahit luka-luka lebar makin terasah. Begitu pula dengan kecermatanku mengeluarkan peluru yang tersesat di dalam daging. Lebih mendalam lagi, aku semakin sadar dan terinspirasi oleh mereka yang mewakafkan diri mereka untuk mendapatkan transaksi terbaik dengan Tuhannya.

“Serangan sudah mereda. Satu jam lagi sepertinya kita bisa kembali ke Al-Amari, tentunya setelah kita menemani dan menenangkan pasien, kemudian menceritakan keadaan mereka pada para relawan umum. Nanti biar relawan-relawan itu yang menemani dan membantu keperluan mereka, karena kita harus beristirahat untuk panggilan-panggilan medis lainnya besok. Ada pertanyaan?” Dimas selesai mengumumkan pada kami tentang keadaan sejauh ini. Kami hening. “Hmm… Ada yang lihat Vina?” Tanyanya kembali.

Kami melirik ke kanan dan kiri, bertanya satu sama lain. Segera kami berkeliling barak untuk menemukan ketua kelompok kami. Aku menghampiri petugas jaga, dengan bahasa Arab yang terbata dan diselingi dengan bahasa Inggris, aku memintanya untuk membantu kami mencari ketua tim dokter relawan medis Bulan Sabit Merah Indonesia.

“Vina…! Vinaaa…!!” Kami sahut menyahut memanggil nama Vina. Aku hampir menyerah, dan di sisi lain kami harus segera menemani para korban luka-luka serta menyosialisasikan keadaan kepada relawan umum, sehingga kami pun tak bisa fokus untuk menemukan Vina. “Semoga ia sedang tertidur di suatu tempat karena kelelahan,” bisikku tentang harapan aneh yang mau tak mau kuharapkan dari pada kemungkinan lain saat ini.

Hari mulai gelap. Ngiiing nguuung ngiiing nguuung. Suara sirene bersahutan. Ada apa ini?Tiga buah ambulans masuk ke daerah kamp pengungsian. “Vina!” batinku. Aku menghambur menuju arah suara sirene. Segera setelah diturunkan, aku memeriksa tubuh-tubuh yang sebagian harus tertumpuk karena telah menjadi mayat. Kabarnya sebuah bomsyahid telah meledak di perbatasan, menewaskan ratusan tentara laknat, namun juga warga yang berada di sekitar perbatasan. Selebihnya luka parah karena bom tersebut dicampur dengan paku-paku agak ledakannya lebih dahsyat.

Nggak ada, Gi…” Dimas tiba-tiba muncul di belakangku. Suaranya bergetar. Aku menoleh. Air mukanya kacau, ia mulai menangis deras.

Kedua alisku menyatu. Bingung. “Apa maksudmu, Dim? Aku gak ngerti…!”

Dimas memukul-mukul badan ambulans itu, menyesali sesuatu dalam sekali. Tapi apa???Akhirnya ia memilih pergi dari kerumunan dan masuk ke ruangan khusus relawan medis. Aku perlahan mengikutinya dari belakang.

Saat aku masuk ruangan, Dimas terduduk di salah satu sudut ruangan dan sudah bersama Syihan dan Rico seolah menenangkannya. Aku berjalan mendekati mereka. Masih dengan sangat perlahan. Benar-benar perlahan. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku jongkok tepat di hadapan Dimas, agar tinggiku menyamai mereka yang sedang duduk. Sebenarnya aku sedih melihatnya setertekan itu.

Kedua mata Dimas yang dikawal oleh kacamata itu kini beradu dengan lantai. Ia mencoba berbicara… “Gi, Ric, Han… Ada salam dari Vina. Katanya kalau dia gak balik, tolong maafin semua kesalahan dia ya…” Kami semua menitikkan air mata. Aku yang tadinya jongkok, langsung beralaskan tanah. Aku merasa mulai terguncang.

Ia melanjutkan, “Sekitar tiga pekan lalu dia memintaku untuk mengantarkannya ke pelatihan peledakan diri, bom syahid.” Aku tahu napasku kini benar-benar tertahan. Sepertinya Allah sedang meliburkan tugas oksigen untuk memenuhi kebutuhan bernapas manusia selama beberapa detik saja. Namun sesaknya luar biasa. “Vina memintaku untuk merahasiakan hal ini. Awalnya aku sudah memintanya berpikir ulang, namun aku tak melihat kesedihan ataupun keraguan sedikitpun di wajahnya. Aku juga berpikir, tidak semudah itu diterima menjadi pasukan bom syahid. Seleksinya amat ketat dan persiapannya bukan main. Dari ratusan orang yang mendaftar, hanya beberapa puluh yang diterima. Setiap malam aku bersujud dan berdoa agar ia tidak diterima. Tak disangka, subuh tadi ia mendapat kabar gilirannya.”

Syihan yang kebapakan merangkul Dimas begitu erat, memijat bahunya agar lebih rileks. Rico pun bergegas mengambilkan segelas air putih untuk Dimas. Aku? Brakkk!

Pagi itu aku tidak ikut ke lapangan. Aku baru siuman tadi subuh dan inilah pagi terpilu yang pernah kurasakan. Vina bahkan tidak menceritakan apapun. Ia juga tidak meninggalkan sesuatu yang bisa kukenang. Meski aku tahu sekali, aku hanya akan menghancurkan rencananya—yang mungkin juga cita-citanya—jika ia menceritakannya padaku. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Aku berusaha sekuat tenaga mengangkat diri dari tempat tidur, berpakaian, dan mengenakan jilbabku, berjalan tertatih keluar barak relawan.

Assalaamu’alaykum, Mabrook,” sapaku pada penghuni barak.

“’Alaykumussalaam warahmatullaahi wa barakaatuh. Masuklah, Nak,” jawab perempuan renta itu menghampiri dan tersenyum, mempersilakanku masuk. Untungnya Mabrook Idris dapat berbicara bahasa Inggris, sehingga aku tak perlu memamerkan bahasa Arabku yang masih terputus-putus.

“Begini Mabrook… Bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“Apa itu, Nak?” Pandangan sendunya melekat pada wajahku.

“Siapakah anak perempuanmu, Mabrook? Aku pernah sekali mendengar kisahnya, seorang relawan medis yang sangat menginspirasi. Bolehkah aku mengetahuinya?”

Mabrook tersenyum. Ia berdiri dan mengambil sesuatu dari kotak tua kecil di antara tumpukan barang-barangnya. Ia duduk kembali kemudian menyodorkan sebuah kertas propaganda usang seukuran A4, bergambar seorang perempuan muda dengan ikat kepala bertuliskan ‘Allahu akbar’ dan kalimat-kalimat berbau perjuangan untuk mengapresiasi sangSyahidah. Aku menutup mulut dengan tanganku. Mengapa tak terpikirkan olehku??

Suaraku bergetar. “Wafa… Idris…?”

Mabrook mengangguk pelan.

Siapa tak kenal Wafa Idris? Beliaulah perempuan pertama yang menjadi pelaku bom syahid Palestina. Beliau meledakkan bom di pintu masuk sebuah toko sepatu di pusat kota Yerusalem tahun 2002 saat usianya masih dua puluhan. Sejak itu, banyak perempuan yang mewakafkan diri demi agama dan negaranya dengan jalan itu.

Mungkin sama seperti Wafa, Vina ingin mewakafkan dirinya secara total di jalan ini. Bukan berarti mungkin karena ia muak dan murka dengan keseharian yang ia dapati, melainkan karena Vina bergitu kuat, dan tentunya setiap orang memiliki keleluasaan serta ruang diskusi dengan Allah dalam menentukan pilihannya. Semoga Allah menerima amalmu, duhai Saudariku, Ar-Rahman sedang membukakan pintu langit seluas-luasnya untuk serta merta ditembus oleh para syuhada hingga ke jannah-Nya.

Siapakah Kau, Perempuan Sempurna? (Sebuah catatan kecil Afifah Afra)

Ketika akhirnya saya dilamar oleh seorang lelaki, saya luruh dalam kelegaan. Apalagi lelaki itu, kelihatannya ‘relatif’ sempurna. Hapalannya banyak, shalih, pintar. Ia juga seorang aktivis dakwah yang sudah cukup matang. Kurang apa coba?

Saya merasa sombong! Ketika melihat para lajang kemudian diwisuda sebagai pengantin, saya secara tak sadar membandingkan, lebih keren mana suaminya dengan suami saya.

Sampai akhirnya air mata saya harus mengucur begitu deras, ketika suatu hari menekuri 3 ayat terakhir surat At-Tahrim. Sebenarnya, sebagian besar ayat dalam surat ini sudah mulai saya hapal sekitar 10 tahun silam, saat saya masih semester awal kuliah. Akan tetapi, banyak hapalan saya menguap, dan harus kembali mengucur bak air hujan ketika saya menjadi satu grup dengan seorang calon hafidzah di kelompok pengajian yang rutin saya ikuti.

Ini terjemah ayat tersebut:

66:10. Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.

66:11. Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim”,

66: 12. dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.

SEBUAH KONTRADIKSI

Ada 4 orang yang disebut dalam 3 ayat tersebut. Mereka adalah Istri Nuh, Istri Luth, Istri Firaun dan Maryam. Istri Nuh (IN), dan Istri Luth (IL) adalah symbol perempuan kafir, sedangkan Istri Firaun (IF) dan Maryam (M), adalah symbol perempuan beriman. Saya terkejut, takjub dan ternganga ketika menyadari bahwa ada sebuah kontradiksi yang sangat kuat. Allah memberikan sebuah permisalan nan ironis. Mengapa begitu?

IN dan IL adalah contoh perempuan yang berada dalam pengawasan lelaki shalih. Suami-suami mereka setaraf Nabi (bandingkan dengan suami saya! Tak ada apa-apanya, bukan?). Akan tetapi mereka berkhianat, sehingga dikatakanlah kepada mereka, waqilad khulannaaro ma’ad daakhiliin… Sedangkan antitesa dari mereka, Allah bentangkan kehidupan IF (Asiyah binti Muzahim) dan M. Hebatnya, IF adalah istri seorang thaghut, pembangkang sejati yang berkoar-koar menyebut “ana rabbakumul a’la.” Dan Maryam, ia bahkan tak memiliki suami. Ia rajin beribadah, dan Allah tiba-tiba berkehendak meniupkan ruh dalam rahimnya. Akan tetapi, cahaya iman membuat mereka mampu tetap bertahan di jalan kebenaran. Sehingga Allah memujinya, wa kaanat minal qaanithiin…

PEREMPUAN SEMPURNA

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik wanita penghuni surga itu adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim istri Firaun, dan Maryam binti Imran.” (HR. Ahmad 2720, berderajat shahih). Empat perempuan itu dipuji sebagai sebaik-baik wanita penghuni surga. Akan tetapi, Rasulullah saw. masih membuat strata lagi dari 4 orang tersebut. Terpilihlah dua perempuan yang disebut sebagai perempuan sempurna. Rasul bersabda, “Banyak lelaki yang sempurna, tetapi tiada wanita yang sempurna kecuali Asiyah istri Firaun dan Maryam binti Imran. Sesungguhnya keutamaan Asiyah dibandingkan sekalian wanita adalah sebagaimana keutamaan bubur roti gandum dibandingkan dengan makanan lainnya.” (Shahih al-Bukhari no. 3411).

Inilah yang membuat saya terkejut! Bahkan perempuan sekelas Fathimah dan Khadijah pun masih ‘kalah’ dibanding Asiyah IF dan Maryam binti Imran. Apakah gerangan yang membuat Rasul menilai semacam itu?

Ah, saya bukan seorang mufassir ataupun ahli hadits. Namun, dalam keterbatasan yang saya mengerti, tiba-tiba saya sedikit meraba-reba, bahwa penyebabnya adalah karena keberadaan suami. Khadijah, ia perempuan hebat, namun ia tak sempurna, karena ia diback-up total oleh Muhammad saw., seorang lelaki hebat. Fathimah, ia dahsyat, namun ia tak sempurna, karena ada Ali bin Abi Thalib kw, seorang pemuda mukmin yang tangguh.

Sedangkan Asiyah? Saat ia menanggung deraan hidup yang begitu dahsyat, kepada siapa ia menyandarkan tubuhnya, karena justru yang menyiksanya adalah suaminya sendiri. Siksaan yang membuat ia berdoa, dengan gemetar, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim.” Siksaan yang membuat nyawanya terbang, ah… tidak mati, namun menuju surga. Mendapatkan rizki dan bersukaria dengan para penduduk akhirat.

Bagaimana pula dengan Maryam? Ia seorang lajang yang dipilih Allah untuk menjadi ibunda bagi Nabi Isa. Kepada siapa ia mengadu atas tindasan kaumnya yang menuduh ia sebagai pezina? Pantas jika Rasul menyebut mereka: Perempuan sempurna…

JADI, YANG MENGANTAR ke Surga, Adalah Amalan Kita

Jadi, bukan karena (sekadar) lelaki shalih yang menjadi pendamping kita. Suami yang baik, memang akan menuntun kita menuju jalan ke surga, mempermudah kita dalam menjalankan perintah agama. Namun, jemari akan teracung pada para perempuan yang dengan kelajangannya (namun bukan sengaja melajang), atau dengan kondisi suaminya yang memprihatinkan (yang juga bukan karena kehendak kita), ternyata tetap bisa beramal dan cemerlang dalam cahaya iman. Kalian adalah Maryam-Maryam dan Asiyah-Asiyah, yang lebih hebat dari Khadijah-Khadijah dan Fathimah-Fathimah. Sebaliknya, alangkah hinanya para perempuan yang memiliki suami-suami nan shalih, namun pada kenyataannya, mereka tak lebih dari istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth. Yang alih-alih mendukung suami dalam dakwah, namun justru menggelendot manja, “Mas… kok pergi pengajian terus sih, sekali-kali libur dong!” Atau, “Mas, aku pengin beli motor yang bagus, gimana kalau Mas korupsi aja…” Benar, bahwa istri hebat ada di samping suami hebat. Namun, lebih hebat lagi adalah istri yang tetap bisa hebat meskipun terpaksa bersuamikan orang tak hebat, atau bahkan tetapi melajang karena berbagai sebab nan syar’i. Dan betapa rendahnya istri yang tak hebat, padahal suaminya orang hebat dan membentangkan baginya berbagai kemudahan untuk menjadi hebat. Hebat sebagai hamba Allah! Wallahu a’lam bish-shawwab.

copas dari..http://zanikhan.multiply.com/journal/item/12821

Hanya Satu Kekurangan Wanita…

Ketika Tuhan menciptakan wanita, Dia lembur pada hari ke-6.
Malaikat datang dan bertanya, ”Mengapa begitu lama Tuhan?”
Tuhan menjawab, “Sudah kah engkau liat semua detail yang Aku buat untuk menciptakan mereka? 2 tangan ini harus bisa dibersihkan, tetapi bahannya bukan dari plastik. Setidaknya terdiri dari 200 bagian, yang bisa digerakkan dan berfungsi baik untuk segala jenis makanan. Mampu menjaga banyak anak saat bersamaan, punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan dan semua dilakukannya dengan 2 tangan ini.”

Malaikat itu Takjub.
” Hanya dengan 2 tangan..?! Tidak mungkin!!”
Tuhan menjawab, “Oh…Tidak!! Aku akan menyelesaikan ciptaan hari ini, karena ini adalah ciptaan favoritKu. Ya…dia juga akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri dan bisa bekerja selama 18 jam sehari.”

Malaikat mendekat dan mengamati bentuk wanita ciptaan Tuhan itu. “Tapi Engkau membuatnya begitu lembut Tuhan?”
“Yah… Aku membuatnya begitu lembut, tapi engkau belum bisa bayangkan kekuatan yang Aku berikan agar mereka dapat mengatasi banyak hal yang luar biasa.”

“Dia bisa berpikir?” tanya malaikat.
Tuhan menjawab, ”Tak hanya berpikir,dia mampu bernegosiasi.”

Malaikat itu menyentuh dagunya. “Tuhan Engkau buat ciptaan ini kelihatannya lelah dan rapuh! Seolah terlalu banyak beban baginya.”

“Itu bukan lelah atau rapuh…itu AIR MATA”
“Untuk apa?”tanya malaikat.

Tuhan melanjutkan, “AIR MATA adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan dan kebahagiaan..”

“Engkau memikirkan segala sesuatunya. Wanita ciptaanMu ini akan sungguh menakjubkan!”

“Ya mesti…! Wanita ini akan mempunyai kekuatan mempesona bagi laki-laki. Dia dapat mengatasi beban bahkan laki-laki.
Dia Mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri.
Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit. Mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, terharu saat tertawa, bahkan tertawa saat ketakutan.
Dia berkorban demi orang yang dicintainya.
Dia tidak menolak kalau melihat yang lebih baik.
Dia menerjunkan dirinya untuk keluarganya.
Dia membawa temannya yang sakit untuk berobat.
CINTANYA TANPA SYARAT.
Dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang.
Dia girang dan bersorak saat melihat temannya tertawa.
Dia begitu bahagia mendengar kelahiran. Hatinya begitu sedih saat mendengar berita sakit dan kematian tetapi dia selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup, dia tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka.”

“Hanya 1 kekurangan dari wanita,
DIA LUPA BETAPA BERHARGANYA DIA”.

PS: tulisan ini repost, tidak ada sumber yang jelas saat mendapatkannya. =)

Sambutan Labibah Ahmad

Pada hari Kamis, tanggal 15 Dzul Qa’dah tahun 1352 H (kira-kira bertepatan dengan tahun 1922 M), Sayyidah Shalihah Hajjah Labibah Ahmad terpilih sebagai ketua divisi akhwat Ikhwanul Muslimin di Kairo, Isma’iliyah, dan Port Sa’id. Berikut adalah kutipan sambutan yang beliau sampaikan kepada seluruh anggota divisi (seluruhnya akhwat).

“Saudari-saudari dan putri-putriku.

Saya memuji Allah yang tiada Tuhan selain Dia untuk kalian, dan membaca shalawat, serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam, segenap keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Assalaamu’alaykunna warahmatullahi wa barakaatuh.

Saya sangat berbahagia dapat menerima undangan kehormatan dari Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin untuk melayani prinsip-prinsip kalian dan menjabat kepemimpinan divisi ini. Meskipun saya lemah untuk memikul beban berat ini dan tidak mampu melaksanakan tugas ini, tetapi saya yakin akan mendapatkan semangat dan bantuan dari kalian untuk mencapai tujuan yang telah kita canangkan bersama. Yaitu, penyebaran nilai-nilai ajaran Islam dalam jiwa dan pemantapan adab-adab serta prinsip-prinsip Islam dalam jiwa pemuda-pemudi muslimah dan keluarga muslim. Allah adalah Dzat yang dimintai pertolongan.

Saudari-saudari sekalian…

Sebagaimana kalian ketahui, bahwa sesungguhnya umat Islam sekarang ini sedang mengalami dekadensi moral dan terserang berbagai penyakit sosial yang gejala-gejalanya sudah nampak pada hampir seluruh fenomena kehidupannya. Baik itu di rumah-rumah, di jalan-jalan, di pabrik-pabrik, di pusat-pusat perbelanjaan dan di setiap lingkungan. Bila kondisi seperti ini  tidak berubah, maka akan menghantarkan kita pada akibat yang paling buruk dan keadaan paling memprihatinkan.

Azas perbaikan umat adalah perbaikan rumah tangga, sedangkan perbaikan rumah tangga dimulai dari pembenahan pribadi para pemudi. Sebab, wanita adalah guru bagi dunia. Dialah yang menggoyangkan tempat lahir dengan tangan kanannya dan menggoncangkan dunia dengan tangan kirinya. Para remaja putri harus memahami bahwa tugasnya merupakan tugas yang paling suci dan pengaruhnya di tengah umat sangat mendalam. Dia mampu memperbaiki kondisi umat ini, bila ia benar-benar mencurahkan perhatiannya pada upaya perbaikan. Oleh karena itu, kita semua berkewajiban untuk memperbaiki diri.

Saya yakin, bahwa hukum-hukum Islam dapat memenuhi kebutuhan perbaikan yang kita inginkan, bila kita memahami dan mengamalkannya. Sebab itu, wahai saudari-saudari dan putri-putriku, mari kita memperbaiki diri dengan memahami dan mengamalkan Islam, serta menyebarkan nilai-nilai ajarannya kepada kaum wanita. Sebab, bila kita baik, maka akan baiklah keluarga, dan baiknya keluarga merupakan jalan menuju perbaikan seluruh umat kita.

Inilah yang ingin saya jelaskan pada kalian untuk manhaj kerja kita dalam menunaikan tugas yang telah kita ikrarkan. Saya memohon kepada Allah, semoga Ia memberikan taufiq kepada kita untuk meraih segala yang baik bagi umat kita yang mulia dan perkasa.”

Saudarimu, Labibah Ahmad

Si Tuli

Di Khurasan ada seorang ulama besar bernama Khatim bin Alwan. Muridnya banyak, pengaruhnya luas dan ilmunya tinggi. Tetapi, di tengah masyarakat ia memperoleh julukan Al-Asham atau si tuli. Anehnya, julukan yang biasanya untuk merendahkan itu buat Imam Khatim bin Alwan justru merupakan gelar kehormatan yang mengabdikan akhlak terpujinya sehingga ia dihargai oleh umat manusia sepanjang masa.

Gelar buruk namun terhormat itu didapatkan oleh beliau ketika pada suatu saat seorang gadis cantik keturunan bangsawan datang ke tempat ia biasa memberikan pelajaran yg juga merupakan tempat penyimpanan ratusan kitab-kitabnya. Gadis itu bermaksud menyakan suatu masalah yg dibutuhkan jawabannya dengan segera.

Ketika sudah dipersilakan masuk, tiba-tiba gadis itu terlepas kentutnya, walaupun pelan tapi terdengar jelas. Imam Khatim terkejut. Baru sekali ini ia mendengar orang kentut di mukanya, apalagi seorang gadis. Si gadis, begitu mendengar kentutnya sendiri, betapapun pelan suaranya, mendadak merah padam wajahnya lantaran malu sekali. Apalagi yang dihadapinya seorang ulama besar, yang dihormati oleh segenap lapisan masyarakat, termasuk raja & pembesar kerajaan.

Namun, alangkah leganya gadis itu tatkala Imam Khatim bertanya dengan suara keras. “Coba ulangi, apa keperluanmu?” Dengan lantang gadis itu menanyakan suatu masalah yang sedang dialaminya. Sudah keras sekali suaranya. Imam Khatim sebenarnya bukan tidak mendengar. Bunyi jarum jatuhpun telinganya masih dapat menangkap. Tetapi Imam Khatim masih juga berteriak nyaring, “Lebih keras lagi suaramu. Aku tidak mendengar. Apa kamu tidak tahu, aku ini sejak seminggu yang lalu menjadi budek, pekak, akibat demam panas?” Mendengar pengakuan Imam Khatim tersebut, si gadis makin bersinar wajahnya. Sebab ia berpikir, kalau suaranya yang sudah amat keras saja Imam Khatim tidak bisa mendengarnya, apalagi bunyi kentutnya yg halus sekali, pasti Imam Khatim juga tidak mendengarnya.

Maka sejak itu Imam Khatim terpaksa bersandiwara pura-pura tuli selama si gadis masih hidup dan tinggal di kota yang sama. Itulah sebabnya ia tersohor dengan gelar kebesaran, Al-Asham atau si tuli.

Allahu’alam bish showab.

http://www.oaseislam.com/modules.php?name=News&file=article&sid=100

Agar Menjadi Bahan Renungan, Terutama untuk Para Akhwat…

Copas dari teman.
Semoga bermanfaat..

Dari Sahabatku yg istiqamah di jalan dakwah: Kang Alfan

Sebelumnya ane minta maaf kepada para pembaca, ini adalah kisah nyata dari Saudaraku. Semoga kita (terutama Akhwat) bisa mengambil faedah dan ibrah-nya, amiin yaa Robbal ‘alamiin. Ini kisah untuk orang yang sabar, hobby membaca, dan selalu mencari kebenaran dan ridho Ilahi.. Bagi yang ingin baca, ya bacalah dengan ikhlas tanpa melihat teks keseluruhan.. Tapi kita chatline essensi dari cerita ini. Bagi yang malas membaca… Jangan dipaksa dari pada umur anda berkurang nantinya.

Beliau bercerita . . . . .

*
**
*** Ini ceritaku tentang adikku Nur Annisa, gadis yang baru beranjak dewasa namun agak bengal dan tomboy. Pada saat umur adikku menginjak 17 tahun, perkembangan dari tingkah lakunya agak mengkhawatirkan ibuku, banyak teman cowoknya yang datang kerumah dan itu tidak mengenakkan ibuku sebagai seorang guru ngaji. Untuk mengantisipasi hal itu ibuku menyuruh adikku memakai jilbab, namun selalu ditolaknya hingga timbul pertengkaran-pertengkaran kecil diantara mereka. Pernah satu kali adikku berkata dengan suara yang agak keras “Mama coba lihat deh, tetangga sebelah anaknya pakai jilbab namun kelakuannya nggak beda ama kita, malah teman-teman Ani yang disekolah pake jilbab dibawa om-om, sering jalan-jalan, masih mending Ani, walaupun begini gini Ani nggak pernah mo kaya gituan” bila sudah seperti itu ibuku hanya mengelus dada, kadangkala di akhir malam kulihat ibuku menangis, lirih terdengar doanya “Ya Allah, kenalkan Ani dengan hukum Engkau”.

Pada satu hari didekat rumahku, ada tetangga baru yang baru pindah. Satu keluarga dimana mempunyai enam anak yang masih kecil-kecil. Suaminya bernama Abu Khoiri, (entah nama aslinya siapa) aku kenal dengannya waktu di masjid.

Setelah beberapa lama mereka pindah timbul desas-desus mengenai istri dari Abu khoiri yang tidak pernah keluar rumah, hingga dijuluki si buta, bisu dan tuli. Hal ini terdengar pula oleh Adikku, dan dia bertanya sama aku “kak, memang yang baru pindah itu istrinya buta, bisu dan tuli?”. Terus aku jawab sambil lalu” kalau kamu mau tau, datangi aja langsung rumahnya”. Eehhh… tuh anak benar-benar datang kerumahnya. Sekembalinya dari rumah tetanggaku, kulihat perubahan yang drastis pada wajahnya, wajahnya yang biasa cerah nggak pernah muram atau lesu mejadi pucat pasi.. Entah apa yang terjadi…?

Namun tidak kusangka selang dua hari kemudian dia meminta pada ibuku untuk di buatkan jilbab, yang panjang lagi.. Rok panjang, baju lengan panjang… Aku sendiri jadi bingung… Aku tambah bingung campur syukur kepada Allah SWT karena kulihat perubahan yang ajaib… Yah kubilang ajaib karena dia berubah total… Tidak banyak lagi anak cowok yang datang kerumah atau teman-teman wanitanya untuk sekedar bicara yang nggak karuan… Kulihat dia banyak merenung, banyak baca-baca majalah islam yang biasanya dia suka beli majalah anak muda kayak gadis atau femina ganti jadi majalah-majalah islam, dan kulihat ibadahnya pun melebihi aku… Tak ketinggalan tahajudnya, baca Qur’annya, sholat sunahnya… Dan yang lebih menakjubkan lagi… Bila teman ku datang dia menundukkan pandangan… Segala puji bagi Engkau ya Allah SWT jerit hatiku…

Tidak berapa lama aku dapat panggilan kerja di kalimantan, kerja di satu perusahaan minyak KALTEX. Dua bulan aku bekerja disana aku dapat kabar bahwa adikku sakit keras hingga ibuku memanggilku untuk pulang ke rumah (rumahku di madiun). Di pesawat tak henti-hentinya aku berdoa kepada Allah SWT agar Adikku diberi kesembuhan, namun aku hanya berusaha… Ketika aku tiba di rumah… Di depan pintu sudah banyak orang.. Tak dapat kutahan aku lari masuk kedalam rumah… Kulihat ibuku menangis.. Aku langsung menghampiri dan memeluk ibuku… Sambil tersendat-sendat ibuku bilang sama aku “Dhi, adikkmu bisa ucapkan kalimat Syahadah diakhir hidupnya…”, tak dapat kutahan air mata ini…

Setelah selesai acara penguburan dan lainnya, iseng aku masuk kamar adikku dan kulihat diary diatas mejanya… Diary yang selalu dia tulis, diary tempat dia menghabiskan waktunya sebelum tidur kala kulihat sewaktu almarhumah adikku masih hidup, kemudian kubuka selembar demi selembar… Hingga tertuju pada satu halaman yang menguak misteri dan pertanyaan yang selalu timbul dihatiku… Perubahan yang terjadi ketika adikku baru pulang dari rumah Abu Khoiri… Disitu kulihat tanya jawab antara adikku dan istri dari tetanggaku…

Isinya seperti ini :
-Tanya jawab (kulihat dilembaran itu banyak bekas airmata)-
Annisa: aku berguman (wajah wanita ini cerah dan bersinar layaknya bidadari)… ibu… wajah ibu sangat muda dan cantik.

Istri tetanggaku: Alhamdulillah …sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati.

Annisa: tapi ibu kan udah punya anak enam …tapi masih kelihatan cantik.

Istri tetanggaku: Subhanallah… sesungguhnya keindahan itu milik Allah SWT dan bila Allah SWT berkehendak… siapakah yang bisa menolaknya..

Annisa: Ibu… selama ini aku selalu disuruh memakai jilbab oleh ibuku… namun aku selalu menolak karena aku pikir nggak masalah aku nggak pakai jilbab asal aku tidak macam-macam dan kulihat banyak wanita memakai jilbab namun kelakuannya melebihi kami yang tidak memakai jilbab… hingga aku nggak pernah mau untuk pakai jilbab… menurut ibu bagaimana?!?

Istri tetanggaku: duhai Annisa, sesungguhnya Allah SWT menjadikan seluruh tubuh wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki,segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan muhrim kita semuanya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT nanti, jilbab adalah hijab untuk wanita…

Annisa: tapi yang kulihat banyak wanita jilbab yang kelakuannya nggak enak…

Istri Tetanggaku: Jilbab hanyalah kain, namun hakekat atau arti dari jilbab itu sendiri yang harus kita pahami.

Annisa: apa itu hakekat jilbab ?

Istri Tetanggaku: Hakekat jilbab adalah hijab lahir batin, hijab mata kamu dari memandang lelaki yang bukan muhrim kamu, hijab lidah kamu dari berghibah dan kesia-siaan… usahakan selalu berdzikir kepada Allah SWT, hijab telinga kamu dari mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu maupun masyarakat, hijab hidungmu dari mencium-cium segala yang berbau busuk, hijab tangan-tangan kamu dari berbuat yang tidak senonoh,hijab kaki kamu dari melangkah menuju maksiat, hijab pikiran kamu dari berpikir yang mengundang syetan untuk memperdayai nafsu kamu, hijab hati kamu dari sesuatu selain Allah SWT, bila kamu sudah bisa maka jilbab yang kamu pakai akan menyinari hati kamu… itulah hakekat jilbab.

Annisa: ibu… aku jadi jelas sekarang dari arti jilbab… mudah-mudahan aku bisa pakai jilbab… namun bagaimana aku bisa melaksanakan semuanya???

Istri tetanggaku: Duhai Nisa, bila kamu memakai jilbab itu lah karunia dan rahmat yang datang dari Allah SWT yang Maha Pemberi Rahmat, bila kamu mensyukuri rahmat itu kamu akan diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan-amalan jilbab hingga mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah SWT… Duhai nisa,,, ingatlah akan satu hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan.. ketika ditiup terompet yang kedua kali… pada saat roh-roh manusia seperti anai-anai yang bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas, yang tanahnya dari logam yang panas, tidak ada rumput maupun tumbuhan, ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita namun keadaan gelap gulita, ketika seluruh nabi ketakutan, ketika ibu tidak memperdulikan anaknya, anak tidak memperdulikan ibunya, sanak saudara tidak kenal satu sama lain lagi, kadang satu sama lain bisa menjadi musuh, satu kebaikan lebih berharga dari segala sesuatu yang ada dialam ini, ketika manusia berbaris dengan barisan yang panjang dan masing-masing hanya memperdulikan nasib dirinya,dan pada saat itu ada yang berkeringat karena rasa takut yang luar biasa hingga menenggelamkan dirinya, dan rupa-rupa bentuk manusia bermacam-macam tergantung dari amalannya, ada yang melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan,bada yang berbentuk seperti hewan, ada yang berbentuk seperti syetan, semuanya menangis… menangis karena hari itu Allah SWT murka… belum pernah Allah SWT murka sebelum dan sesudah hari itu… hingga ribuan tahun manusia didiamkan Allah SWT dipadang mahsyar yang panas membara hingga Timbangan Mizan digelar itulah hari Hisab… Duhai Annisa,,, bila kita tidak berusaha untuk beramal dihari ini, entah dengan apa nanti kita menjawab bila kita di sidang oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat, Yang Maha Agung. Allah SWT…

Sampai disini aku baca diarynya karena kulihat berhenti dan banyak tetesan airmata yang jatuh dari pelupuk matanya… Subhanallah … kubalik lembar berikutnya dan kulihat tulisan : kemudian kulihat tulisan kecil di bawahnya buta, tuli dan bisu… wanita yang tidak pernah melihat lelaki selain muhrimnya, wanita yang tidak pernah mau mendengar perkara yang dapat mengundang murka Allah SWT, wanita tidak pernah berbicara ghibah dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia sia.

Tak tahan airmata ini pun jatuh… semoga Allah SWT menerima Adikku disisinya… Amiin Subhanallah … aku harap cerita ini bisa menjadi ikhtibar bagi kita semua…

Dari:

Kakak yang mencintai

Preman Jadi Ulama Besar

Sejak dini, aku hidup sebagai pemabuk, tersesat dan ahli maksiat. Menzalimi manusia, merampas harta orang lain, makan riba dan bahkan menggebuki orang adalah pekerjaan harianku. Tak ada hari dalam hidupku tanpa berbuat zalim terhadap manusia. Nyaris semua bentuk maksiat pernah aku lakukan.. Bahkan terkadang orang-orang yang tinggal di sekitarku ngeri mendegar namaku…

Aku ingin menikah

Pada suatu hari, aku sangat ingin menikah karena merindukan punya anak yang akan menghibur kehidupanku yang amat keras itu. Lalu, aku menikahi seorang gadis di kotaku (Baghdad)dan setelah hampir setahun istrikupun melahirkan seorang bayi wanita yang amat mungil lagi cantik. Bayi itu ku beri nama “Fatimah”.

Entah bagaimana, aku amat mencintai Fatimah, bahkan melebihi orang lain di sekitarku. Semakin Fatimah tumbuh dengan sehat, imanku semakin tumbuh pula dalam hatiku dan maksiat semakin berkurang dalam kehidupanku. Suatu hari, saat aku memegang gelas yang isinya khamar (minuman yang memabukkan), Fatimah melihatnya. Ia mencoba mendekatiku dan menghalangi akau meminum khamar tersebut. Aku tidak tahu kenapa Fatimah bisa melakukan hal itu. Pasti, Allah lah yang membuat Fatimah bisa berbuat seperti itu…

Fatimah semakin besar. Imankupun semakin bertambah dalam hatiku… Setiap aku mendekatkan diri pada Allah satu langkah, maka seperti itu pula aku menjauh dari maksiat. Kondisi seperti itu terus berlanjut sampai Fatimah berusia tiga tahun. Saat memasuki usia tiga tahun, tanpa sebab sakit sedikitpun, Fatimah meninggal dunia….

Kembali menjadi ahli maksiat

Sungguh tak masuk akal… peristiwa “kematian Fatimah” membuatku putus asa dan aku berbalik menjadi preman, lebih sadis dan kejam dari sebelum aku menikah… Aku kehilangan kesabaran yang seharusnya dimiliki oleh orang beriman saat menghadapi ujian. Aku gagal total dalam menghadapi ujian itu…

Kali ini, hidupku kembali sebagai ahli maksiat dan kezaliman. Bahkan lebih dahsyat dari sewaktu aku masih muda. Akhirnya, setan benar-benar berhasil mempermainkan kehidupanku. Sampai pada suatu saat, setan berkata padaku: “Hari ini, hari yang paling bahagia bagi kamu. Kamu silahkan mabuk semabuk-mabukknya yang belum pernah terjadi sepanjang hidupmu…”

Mimpi hari kiamat

Akupun bertekad untuk mabuk dan minum khamar sebanyak-banyaknya. Sepanjang malam itu kerjaku hanya minum dan minum khamar.. Saat aku teler dan kemudian ketiduran, tiba-tiba aku bermimpi. Dalam mimpiku, aku sedang menghadapi sebuah peristiwa besar, yakni kiamat. Matahari tidak lagi memberikan cahayanya ke bumi. Laut berubah menjadi api raksasa.. Di bumi terjadi gempa yang amat dahsyat.. Semua manusia berkumpul di padang mahsyar.. Manusia sangat banyak dan hilir mudik bergelombang-gelombang. Aku adalah salah satu di antara mereka.

Tiba-tiba, aku mendengar suara orang yang memanggil Fulan bin Fulan.. Ayo segera menghadap yang Maha Perkasa…Saat itu aku melihat ada orang yang hitam pekat wajahnya karena sangat ketakutan.. Tak lama kemudian, aku mendengar suara memanggil namaku sambil berkata: “Ayo, segera kamu menghadap kepada yang Maha Perkasa…” Tiba-tiba saja semua manusia sangat banyak itu menghilang dari sekelilingku… Tinggal aku sendiri di tengah padang mahsyar yang amat luas itu.

Saat aku melihat ke suatu arah, tiba-tiba aku melihat ular yang sangat besar dan garang sedang menuju ke arah tempat aku berdiri sambil membuka mulutnya lebar-lebar.. Aku lari dan berlari menjauh dari kejaran ular tersebut karena sangat takut, sampailah aku meihat seorang kakek yang sudah sangat lemah.. Lalu aku berkata: “Bapak! Tolonglah aku dan selamatkan aku dari ular itu! Sang kakek berkata: “Wahai anakku, aku sendiri sangat lemah dan tidak berdaya sama sekali.. Cobalah anda lari ke suatu tempat di sana semoga ada yang bisa membantumu..” Akupun berlari ke arah yang ditunjukkan kakek tersebut dan ular tersebut di belakangku, sedang di hadapanku ada nyala api yang sangat panas..

Saat itu aku berkata dalam diriku, kamu lari dari kejaran ular atau masuk ke dalam api besar itu? Namun aku tetap berlari sedang ular itu semakin menghampiriku.. Aku coba balik lagi ke arah tempat seorang kakek yang menyarankan aku ke suatu tempat itu. Setelah melihatnya, aku berteriak memanggilnya kembali sambil berkata kepadanya: “Demi Allah, tolonglah selamatkan aku! Engkau berkewajiban menyelamatkanku…” Kakek itu pun menangis karena sedih melihat kondisiku sambil berkata: “Aku ini sudah sangat lemah, tidak mampu berbuat apa-apa, seperti yang kamu lihat sendiri. Cobalah lari ke arah bukit sana, semoga kamu selamat..”

Akupun berlari sekencang-kencangnya ke arah bukit yang diisyaratkan kakek tersebut.. Sedangkan ular besar itu semakin mendekatiku. Setelah mendekati bukit tersebut, aku mendengar riuh suara anak-anak sedang beteriak memanggil anak-ku Fatimah sambil berkata: “Fatimah! Selamatkan ayahmu! Selamatkan segera ayahmu!”

Tiba-tiba saja Fatimah muncul di hadapanku. Seketika itu pula ketakutanku hilang dan rasa bahagia masuk ke dalam dadaku karena bertemu anakku yang meninggal saat berusia tiga tahun. Aku sangat bahagia karena bertemu anakku dan menyelamatkanku dari kondisi sulit seperti itu.. Lalu Fatimah memelukku dengan tangan kanannya sambil mengusir ular besar itu dengan tangan kirinya. Aku seperti mayat (orang yang sudah mati) tak berdaya karena ketakutan…

Setelah ular itu pergi, Fatimah tiba-tiba duduk di atas pangkuanku persis seperti saat dia masih hidup dulu.. Lalu Fatimah berkata: “Wahai ayahanda tercinta! Sudah saatnya orang-orang beriman itu hati mereka khusyuk mengingat Allah..” (QS. Al-Hadid / 57 : 16).

Setelah mendengarkan ucapan Fatimah, aku bertanya padanya: “Wahai anakku, apakah gerangan ular besar itu?” Lalu Fatimah menjawabnya: “Itulah amal kejahatanmu. Dengan kejahatan dan kezaliman, berarti Ayahanda sendiri yang membesarkannya dan nyaris ia memakan Ayah.. Tidakkah engkau tahu wahai Ayahku bahwa semua amal yang dilakukan di dunia akan muncul dalam bentuk makhluk tertentu pada hari kiamat nanti? Laki-Laki yang lemah itu, menggambarkan amal sholeh Ayah yang tak seberapa.. Engkau sendiri yang melemahkan dan mengerdilkannya sehingga ia menangis melihat kondisimu dan tak mampu berbuat apa-apa padamu.

Kemudian anakku meneruskan ucapannya: “Kalaulah bukan engkau sebagai orang tuaku dan kalaulah bukan aku meninggal saat masih suci (anak-anak), tidak ada lagi yang bermanfaat bagimu..”

Tobat dan kembali ke pangkuan Allah

Tiba-tiba aku terbangun sambil berteriak.. Saatnya ya Allah.. Sekarang saatnya aku tobat yaa Robb.. Benar, kapan saatnya bagi orang beriman untuk khusyuk hatinya mengingat Allah? Aku berjanji ya Allah.. Sekarang juga saatnya.

Setelah fikiranku agak tenang aku mandi. Saat itu persis waktu subuh. Setelah mandi, aku keluar rumah menuju masjid dekat rumahku dengan semangat bertobat dan kembali kepada pangkuan Allah. Saat aku masuk ke masjid, aku mendengar imam sedang membaca ayat persis seperti yang dibaca anakku dalam mimpi :

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

Tidakkah sudah tiba saatnya bagi orang-orang beriman untuk khusyuk hati mereka mengingat Allah dan terhadap apa yang yang turun dari kebenaran (Al-Qur’an). Dan janganlah mereka seperti orang-orang ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) sebelumnya, maka lama masanya (mereka durhaka pada Allah), lalu hati mereka jadi keras dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. (QS. Al-Hadid/57 :16)

Itulah cerita Malik Bin Dinar sebagaimana yang Beliau ceritakan sendiri. Seorang ulama besar zaman tabi’in (generasi setelah sahabat) yang sebelumnya adalah preman besar. Beliau terkenal dengan kebiasaannya menangis sepanjang malam sambil berdoa:

Ilahi… Engkau saja yang tahu siapa yang akan menjadi penghuni syurga dan siapa pula yang akan menjadi penghuni neraka.. Yang manakah aku yaa Robb? Yaa Allah! Jadikanlah aku penduduk syurga dan jangan jadikan aku penghuni neraka-Mu!

Itulah Malik Bin Dinar. Setelah taubat, beliau belajar Islam dengan sungguh-sungguh sampai menjadi ulama besar di zamannya. Beliau terkenal setiap hari berdiri di pintu masjid sambil berseru :

Wahai hamba yang melakukan maksiat dan dosa, kembalilah kepada Tuhannmu!
Wahai hamba yang masih lalai, kembalilah kepada Tuhanmu!
Wahai hamba yang lari dari Robb (Tuhan Penciptanya), kembalilah kepada-Nya!

Tuhanmu memanggilmu malam dan siang sambil berkata padamu :
Siapa yang datang dan mendekatkan diri kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat padanya satu hasta…
Siapa yang mendekatkan diri pada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa…
Siapa yang datang padaku sambil berjalan, maka Aku akan datang padanya sambil berlari…

Semoga Allah SWT melunakkan hati kita untuk taubat dan segera kembali kepada-Nya… Amin..

sumber : http://www.eramuslim.com/oase-iman/preman-jadi-ulama-besar.htm dengan sedikit editing.