Archives

Mengenang Wafa

Kami membereskan perlengkapan pribadi dan medis kami masing-masing yang akan kami bawa serta menuju Jalur Gaza. Satu persatu bawaan kami masukkan ke dalam sebuah mobil van berwarna putih. Di bagian samping van itu bertuliskan sebuah nama organisasi tempat kami berafiliasi, Bulan Sabit Merah Indonesia.

Pagi ini terasa seperti pagi-pagi biasanya, meski sebenarnya panggilan pagi ini tergolong panggilan darurat. Mungkin batas stres kami sudah terlalu kabur—karena sehari-hari kejadian mengerikan berlangsung tepat di depan mata kami dan juga dalam sepekan ini ada beberapa panggilan darurat—sehingga kami tak mampu lagi membedakan keadaan sangat genting atau cukup genting. Hal yang pasti adalah segera bergerak sesigap-sigapnya.

“Dimas kenapa ngelamun? Kamu sehat? Lihat Vina, gak?” tanyaku pada salah satu anggota tim cepat tanggap kami.

“Mmm, aku gak apa-apa Gi. Kayaknya dia lagi di barak deh, tadi aku lihat dia jalan cepat gitu ke arah sana,” Dimas menjelaskan dengan mengarahkan jari telunjuknya ke arah barak pengungsi.

“Ah, lagi…” pikirku. Aku melempar senyum pada Dimas, “Oke, aku panggil Vina dulu ya, terus kita langsung berangkat.”

Kutelusuri jalan selebar empat manusia yang menjadi jalan utama kamp tempat kami menetap sementara di dekat Ramallah, tepatnya di kamp Al-Amari. Aku mencari-cari sesosok gadis muda sahabat sejak SMA, sekitar delapan tahun silam. Sedikit lagi aku sampai pada barak keluarga yang kutuju, namun seorang gadis berjilbab ungu muda cerah telah dulu berlari kecil ke arahku.

Ia benar-benar hampir menabrakku. “Hei Gi, ada apa? Yuk yuk berangkat!” Tangan kirinya menepuk pundakku. Ia mencoba tersenyum sambil mengatur napas.

Aku memiringkan kepalaku sedikit untuk melihat pandangan di belakang punggung Vina. Sebegitu cepat pula responnya untuk menggeser tubuhnya dan memamerkan senyum lebarnya padaku, “Giyaaa, gak ada apa-apa kaliii. Tadi aku cuma mengantar jus buah ke keluarga Idris. Hehehe…” Gadis koleris yang ceria ini berhasil memutar tubuhku dan kami pun bergerak menuju van, kami sama-sama tahu harus segera berangkat.

Vina, Aku, Rico, Dimas, dan Syihan sudah lengkap dengan jubah putih dokter kami dan masuk ke dalam van. Kami mengecek ulang semua barang-barang. Vina adalah ketua kelompok aksi cepat tanggap Bulan Sabit Merah Indonesia. Seorang gadis yang sangat bersemangat dan mampu menjaga kewarasan kami ketika banyak sekali tekanan yang kami dapatkan baik dari pasien kami, para pejuang atau mujahid, ataupun dari kondisi lapangan yang begitu sulit diprediksi.

“Akhir-akhir ini aku sering melihatmu mengunjungi keluarga Idris. Ada apa sih? Kok gak pernah cerita-cerita?” Tanyaku sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada, pura-pura merajuk agar ia mau membagi isi kepalanya.

Ia tertawa kecil. “Haha. Gak ada apa-apa kok… Beberapa hari yang lalu, waktu aku mengunjungi barak-barak pengungsi, aku terjebak dalam obrolan dengan keluarga Idris. Kami mengobrol tentang anak perempuan keluarga Idris yang meninggal tujuh tahun lalu.”

“Oh… Innalillaahi wa inna ilayhi raaji’uun… Memangnya ada apa dengan anak perempuannya?” Aku menjadi sedikit ingin tahu.

“Ia sama seperti kita dulu, seorang perempuan relawan medis Palestina. Ia benar-benar seseorang yang sangat menginspirasi…”

“Hmm, apakah ia meninggal saat perang berlangsung?” Rasa ingin tahuku dijawab singkat oleh Vina dengan sebuah anggukan kecil dan pandangan yang agak menerawang. “Menjadi relawan seperti ini memang beresiko, bahkan nyawa. Kita harus berhati-hati dan menjaga diri baik-baik,” Aku melanjutkan. “Kamu juga ya, Vin!” Ia hanya tersenyum.

Perjalanan pagi itu diselingi hujan deras yang membuat seisi van kami cukup hening, masing-masing kami sibuk dengan ayat-ayat-Nya. Ada yang hanyut dalam indah bacaan Al Qur’an, sedangkan sebagian lain mengulang hapalannya karena tidak ingin kalah dengan jumlah hapalan Al Qur’an anak-anak Palestina.

“Sepuluh menit lagi,” Syihan mengingatkan Vina yang berada di hadapannya, bahwa perjalanan van pagi ini akan segera berakhir.

Bismillahirrahmaanirrahiim. Saudara-saudaraku, Giya, Syihan, Rico, dan Dimas.” Ia memandangi kami satu persatu, berusaha mengalirkan energi positif dalam dirinya menuju kami. “Hari ini, sekali lagi kita akan memberikan seluruh jiwa raga kepada ummat. Tidak ada yang mampu mengganti keikhlasan kita, selain Allah di surga-Nya kelak. Hidup ini hanyalah sebuah tempat singgah dengan tujuan membedakan manusia yang banyak amalnya dengan yang tidak. Kemudian dengan segera, manusia-manusia itu akan kembali kepada Allah. Benar-benar dengan segera.”

Vina menggenggam tanganku erat. Entah apa yang baru saja keluar dari mulut ketua kelompok kami, namun pada titik ini aku merasa sangat sedih. Rico merangkul Dimas dan Syihan di kanan dan kirinya. Menepuk-nepuk pundak satu sama lain, saling melempar senyum dan saling menguatkan.

Kami disambut oleh beberapa rekan media yang sedang meliput kejadian yang pecah tadi pagi. Ketiga pria sigap mengeluarkan barang-barang dari van. Beberapa media sedang mewawancarai seorang pria yang langsung meminta izin untuk menemui kami.

Salam ‘aleykum warahmatullaah. This way, this way…” Pria ramah berperawakan Arab yang tingginya hampir mencapai dua meter itu langsung mendampingi kami menuju barak tempat para relawan medis lainnya menindaklanjuti mujahid-mujahid yang terkena luka tembak, serangan represif tentara Israel, ledakan bom dan rudal, serta luka-luka lainnya. Mereka antara enggan mati untuk terus berjuang bagi negara dan agamanya atau pasrah dijemput Izrail yang aku yakin sudah berkeliaran di sini sejak matahari terbit.

Pemandangan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari kami. Suara-suara yang kami dengar dari mulut ke mulut hanyalah nama Ilah mereka yang dibumbui dengan rintihan perih akibat menahan luka yang menganga. “Asyhadu allaa ilaaha… Illallaah… Wa asyhadu annaa… Muhammad… Rasulullaah…” Betapa mereka berada di antara keindahan dunia dan akhirat. Aku iri.

Vina menghampiriku yang sedang melihat sekilas keadaan barak pengungsi di Jalur Gaza ini. “Gi, Gi. Kumpul bentar yuk. Ada sedikit briefing dari koordinator relawan medis di bangunan tempat penyimpanan makanan, medis, dan lain-lain di sebelah…”

“Oh oke, Vin,” aku mengangguk.

“Tolong cari Rico ya, kasitau juga supaya kumpul di luar sekarang. Cuma sekitar sepuluh menit kok.” Ia tersenyum lembut sambil memegang kedua bahuku. Aku mulai mencari Rico dan sepertinya Vina lanjut menghampiri Syihan dan Dimas.

Dalam ruangan tersebut, layar televisi sedang menanyangkan gambar seorang lelaki yang menutupi hampir seluruh kepala dan wajahnya dengan kaffiyeh bermotif kotak merah-putih. Ia berbicara bahasa Arab sambil menyandang sebuah senapan Kalashnikov di tangan kiri dan Al-Qur’an yang didekapnya di depan dada dengan tangan kanan. Ia adalah salah seorang mujahid dari laskar yang memiliki misi bom syahid. Menyampaikan pesan terakhir memang seperti suatu ‘standar pelaksanaan’ yang menjadi rangkaian peledakan diri.

Kami memang sempat memperhatikan layar televisi, namun tak lama kemudian koordinator relawan medis datang dan briefing pun di mulai. Sekilas aku tak sengaja mendapati wajah Vina. Aku dapat merasakan wajahnya menjadi serius, matanya tak berkedip, dan rahangnya mengeras. Sayangnya, kami semua harus segera mengalihkan perhatian kepada bapak koordinator relawan medis yang menyambut kami pagi tadi.

Sejak setelah briefing hingga siang kami terus mendapat ‘suplai’ mujahid-mujahid yang cedera. Sesekali kami bergantian untuk sholat fardhu dan mengganjal perut kami dengan roti gandum dan susu. Siang ini memang sangat padat, tak hanya pikiran, namun juga hati kami lebih dipadati oleh kemuakan dan kemurkaan pada tentara laknatullaah itu.

Aku ingat salah satu pasienku adalah seorang anak kecil berumur sekitar tujuh tahun yang ditembak tepat di bahu kanan dan paha kirinya. Saksi mata yang menggendong badan mungil yang terkulai bersimbah darah itu kemari, bercerita bahwa hal itu terjadi beberapa detik setelah anak kecil ini melemparkan batu kerikil ke arah tentara yang berjaga di samping tank yang berpatroli mengacak-acak rumah dan keluarga warga sipil Palestina.

Adapula pasien Rico, seorang ibu yang melahirkan dalam keadaan sekarat akibat tertimpa puing-puing runtuhan bangunan. Entah bagaimana ceritanya, seorang ibu yang tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengejan, mampu melahirkan bayi yang sehat dengan begitu lancar. Meskipun pada akhirnya ibu itu tidak ditakdirkan untuk melihat bayinya. Maha Suci Engkau, yaa Allah…

Berbagai perlengkapan medis terus dikirimkan. Perlengkapan yang paling banyak kami habiskan antara lain: alkohol dan berbagai cairan desinfektan, kapas, serta kassa untuk membungkus luka. Aku merasa semakin hari, kemampuanku menjahit luka-luka lebar makin terasah. Begitu pula dengan kecermatanku mengeluarkan peluru yang tersesat di dalam daging. Lebih mendalam lagi, aku semakin sadar dan terinspirasi oleh mereka yang mewakafkan diri mereka untuk mendapatkan transaksi terbaik dengan Tuhannya.

“Serangan sudah mereda. Satu jam lagi sepertinya kita bisa kembali ke Al-Amari, tentunya setelah kita menemani dan menenangkan pasien, kemudian menceritakan keadaan mereka pada para relawan umum. Nanti biar relawan-relawan itu yang menemani dan membantu keperluan mereka, karena kita harus beristirahat untuk panggilan-panggilan medis lainnya besok. Ada pertanyaan?” Dimas selesai mengumumkan pada kami tentang keadaan sejauh ini. Kami hening. “Hmm… Ada yang lihat Vina?” Tanyanya kembali.

Kami melirik ke kanan dan kiri, bertanya satu sama lain. Segera kami berkeliling barak untuk menemukan ketua kelompok kami. Aku menghampiri petugas jaga, dengan bahasa Arab yang terbata dan diselingi dengan bahasa Inggris, aku memintanya untuk membantu kami mencari ketua tim dokter relawan medis Bulan Sabit Merah Indonesia.

“Vina…! Vinaaa…!!” Kami sahut menyahut memanggil nama Vina. Aku hampir menyerah, dan di sisi lain kami harus segera menemani para korban luka-luka serta menyosialisasikan keadaan kepada relawan umum, sehingga kami pun tak bisa fokus untuk menemukan Vina. “Semoga ia sedang tertidur di suatu tempat karena kelelahan,” bisikku tentang harapan aneh yang mau tak mau kuharapkan dari pada kemungkinan lain saat ini.

Hari mulai gelap. Ngiiing nguuung ngiiing nguuung. Suara sirene bersahutan. Ada apa ini?Tiga buah ambulans masuk ke daerah kamp pengungsian. “Vina!” batinku. Aku menghambur menuju arah suara sirene. Segera setelah diturunkan, aku memeriksa tubuh-tubuh yang sebagian harus tertumpuk karena telah menjadi mayat. Kabarnya sebuah bomsyahid telah meledak di perbatasan, menewaskan ratusan tentara laknat, namun juga warga yang berada di sekitar perbatasan. Selebihnya luka parah karena bom tersebut dicampur dengan paku-paku agak ledakannya lebih dahsyat.

Nggak ada, Gi…” Dimas tiba-tiba muncul di belakangku. Suaranya bergetar. Aku menoleh. Air mukanya kacau, ia mulai menangis deras.

Kedua alisku menyatu. Bingung. “Apa maksudmu, Dim? Aku gak ngerti…!”

Dimas memukul-mukul badan ambulans itu, menyesali sesuatu dalam sekali. Tapi apa???Akhirnya ia memilih pergi dari kerumunan dan masuk ke ruangan khusus relawan medis. Aku perlahan mengikutinya dari belakang.

Saat aku masuk ruangan, Dimas terduduk di salah satu sudut ruangan dan sudah bersama Syihan dan Rico seolah menenangkannya. Aku berjalan mendekati mereka. Masih dengan sangat perlahan. Benar-benar perlahan. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku jongkok tepat di hadapan Dimas, agar tinggiku menyamai mereka yang sedang duduk. Sebenarnya aku sedih melihatnya setertekan itu.

Kedua mata Dimas yang dikawal oleh kacamata itu kini beradu dengan lantai. Ia mencoba berbicara… “Gi, Ric, Han… Ada salam dari Vina. Katanya kalau dia gak balik, tolong maafin semua kesalahan dia ya…” Kami semua menitikkan air mata. Aku yang tadinya jongkok, langsung beralaskan tanah. Aku merasa mulai terguncang.

Ia melanjutkan, “Sekitar tiga pekan lalu dia memintaku untuk mengantarkannya ke pelatihan peledakan diri, bom syahid.” Aku tahu napasku kini benar-benar tertahan. Sepertinya Allah sedang meliburkan tugas oksigen untuk memenuhi kebutuhan bernapas manusia selama beberapa detik saja. Namun sesaknya luar biasa. “Vina memintaku untuk merahasiakan hal ini. Awalnya aku sudah memintanya berpikir ulang, namun aku tak melihat kesedihan ataupun keraguan sedikitpun di wajahnya. Aku juga berpikir, tidak semudah itu diterima menjadi pasukan bom syahid. Seleksinya amat ketat dan persiapannya bukan main. Dari ratusan orang yang mendaftar, hanya beberapa puluh yang diterima. Setiap malam aku bersujud dan berdoa agar ia tidak diterima. Tak disangka, subuh tadi ia mendapat kabar gilirannya.”

Syihan yang kebapakan merangkul Dimas begitu erat, memijat bahunya agar lebih rileks. Rico pun bergegas mengambilkan segelas air putih untuk Dimas. Aku? Brakkk!

Pagi itu aku tidak ikut ke lapangan. Aku baru siuman tadi subuh dan inilah pagi terpilu yang pernah kurasakan. Vina bahkan tidak menceritakan apapun. Ia juga tidak meninggalkan sesuatu yang bisa kukenang. Meski aku tahu sekali, aku hanya akan menghancurkan rencananya—yang mungkin juga cita-citanya—jika ia menceritakannya padaku. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Aku berusaha sekuat tenaga mengangkat diri dari tempat tidur, berpakaian, dan mengenakan jilbabku, berjalan tertatih keluar barak relawan.

Assalaamu’alaykum, Mabrook,” sapaku pada penghuni barak.

“’Alaykumussalaam warahmatullaahi wa barakaatuh. Masuklah, Nak,” jawab perempuan renta itu menghampiri dan tersenyum, mempersilakanku masuk. Untungnya Mabrook Idris dapat berbicara bahasa Inggris, sehingga aku tak perlu memamerkan bahasa Arabku yang masih terputus-putus.

“Begini Mabrook… Bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“Apa itu, Nak?” Pandangan sendunya melekat pada wajahku.

“Siapakah anak perempuanmu, Mabrook? Aku pernah sekali mendengar kisahnya, seorang relawan medis yang sangat menginspirasi. Bolehkah aku mengetahuinya?”

Mabrook tersenyum. Ia berdiri dan mengambil sesuatu dari kotak tua kecil di antara tumpukan barang-barangnya. Ia duduk kembali kemudian menyodorkan sebuah kertas propaganda usang seukuran A4, bergambar seorang perempuan muda dengan ikat kepala bertuliskan ‘Allahu akbar’ dan kalimat-kalimat berbau perjuangan untuk mengapresiasi sangSyahidah. Aku menutup mulut dengan tanganku. Mengapa tak terpikirkan olehku??

Suaraku bergetar. “Wafa… Idris…?”

Mabrook mengangguk pelan.

Siapa tak kenal Wafa Idris? Beliaulah perempuan pertama yang menjadi pelaku bom syahid Palestina. Beliau meledakkan bom di pintu masuk sebuah toko sepatu di pusat kota Yerusalem tahun 2002 saat usianya masih dua puluhan. Sejak itu, banyak perempuan yang mewakafkan diri demi agama dan negaranya dengan jalan itu.

Mungkin sama seperti Wafa, Vina ingin mewakafkan dirinya secara total di jalan ini. Bukan berarti mungkin karena ia muak dan murka dengan keseharian yang ia dapati, melainkan karena Vina bergitu kuat, dan tentunya setiap orang memiliki keleluasaan serta ruang diskusi dengan Allah dalam menentukan pilihannya. Semoga Allah menerima amalmu, duhai Saudariku, Ar-Rahman sedang membukakan pintu langit seluas-luasnya untuk serta merta ditembus oleh para syuhada hingga ke jannah-Nya.

Curhatan Seorang Demonstran

Tidak seperti biasanya, fajar ini alarm tidak perlu repot-repot membangunkanku. Tiba-tiba saja aku terbangun dan dengan setengah sadar melangkah ke kamar mandi. Semalam aku tertidur begitu saja saat hampir tengah malam karena kelelahan. Sepanjang sore yang cerah kemarin, kami mengadakan mimbar bebas di kampus. Mimbar bebas adalah acara kami untuk memberi pencerdasan dalam bentuk tulisan dan gambar propaganda kepada massa kampus, serta ada beberapa mahasiswa berorasi tentang isu yang diangkat. Akhir-akhir ini kami sedang menggaungkan isu Evaluasi Delapan Tahun Pemerintahan SBY sebagai Bapak Negara Indonesia.

 

Rally sholat dalam rangka curhat pada-Nya alhamdulillah masih bisa kunikmati meski sudah memasukiinjury time. Sholat ‘isya, sholat rawatib, kemudian tahajjud, yang ditutup dengan witir kujalani begitu tenang, hingga adzan dari masjid terdekat memecah hening. Ah, suara yang kemarin… Mana suara yang biasanya ya? Dua hari ini muadzinnya bukan bapak muadzin yang biasanya. Aku tepikan sedikit ke-kepo-anku, “Semoga beliau baik-baik saja,” batinku. Kemudian aku bangkit lagi, menunaikan sholat fajar dan shubuh. Setelah itu berdoa untuk keberkahan agenda besar hari ini, semoga Engkau menerimanya sebagai pemberat amal di akhirat kelak, yaa Allah… Kuakhiri aktivitas pagi ini dengan sarapan ‘sehat’ tilawah satu juz. Segala puji bagi Tuhan seluruh alam, Ia jadikan pagi ini begitu nikmat untukku. Baiklah, sekarang sudah pukul 5.10, mari bersiap!

 

“Waktu menunjukkan pukul 6.15.” Begitu bunyi pesan singkat yang dikirimkan oleh pak Menteri Kebijakan Nasional Kabinet KM-ITB, Yorga.

 

“Maaf saya masih di simpang. Eh, jadinya saya naik travel aja nih?” balasku.

 

“Iyaa, punteun ya kaaak,” jawab Yorga.

 

Sesampainya di meeting point, yaitu menara kubus di depan kampus Ganeca pukul 6.20, aku belum melihat siapapun. Ya ampun, aku kira aku telat. Singkat cerita, peserta aksi dari kampus ITB hari ini sebelas orang. Jadi, delapan orang bisa muat di mobil sedangkan sisanya naik travel. Para perempuan yang jumlahnya hanya sepasang, yaitu aku dan Nifa bersama Deputi Jaringan kementerian yang kerap disapa Wicak menemani kami naik travel, dan pergilah kami ke pool travel pukul tujuh.

 

“Halo. Iya, Kak?”

 

“Halo, Wicak. Belum dibayar kan travelnya? Saya barusan di-BBM sama si Andro nih. Unpad nawarin buat barengan, soalnya di bisnya masih banyak seat kosong.” Aku menelepon Wicak yang sedang bertransaksi di dalam pool, sedangkan aku masih menunggu soto ayam di pangkuanku ini agar sedikit dingin sebelum bisa melahapnya, di luar pool.

 

“Wah, ini udah di depan mas-masnya, Kak, mau bayar. Gimana yah? Saya sih mau aja bareng Unpad, biar gak keluar duit juga, haha.”

 

“Yaudah cancel aja gapapa, kan kita pelanggan, hehe,” jawabku sekenanya.

 

Segera setelah aku menyelesaikan sarapan, kami bertiga bergerak dari pool travel di daerah Dipati Ukur menuju Pasteur. Setelah menunggu sekitar satu jam yang diselingi sholat dhuha di Pasteur, akhirnya bis pun datang. Kami disambut hangat oleh Juhe, Hanny, Andro, Lukmawan–para pejabat BEM Unpad– dan siap meluncur ke Jakarta bersama peserta aksi Universitas Padjadjaran lainnya. Istana Negara, here we really come!

 

Pukul dua belas kami sampai di Istana Negara, peserta aksi yang merupakan mahasiswa dari kampus-kampus yang tergabung dalam aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia atau BEM-SI dari berbagai penjuru negeri telah memadati jalanan di hadapan Istana Negara. Masya Allah, pemandangan ini… Tak sengaja, tersungging senyum kemenangan, entah kemenangan apa yang sedang kurasa. Mungkin, kemenangan karena kami telah menang atas ego diri, sehingga hari ini kami dimampukan oleh-Nya untuk mendahulukan urusan rakyat jelata atas urusan pribadi.

 

“Datang dari Baraaat, datang dari Timuuur. Maaahasiswaaaa! Datang dari Baraaat, datang dari Timuuur. Maaahasiswaaaa!” Sajak indah nan bersemangat itu menggema menyambut kami yang berjalan berbaris dari Monumen Nasional mendekati Istana Negara, bak tentara yang siap mengepung tempat persembunyian musuh. Lengkap dengan atribut aksi, siap untuk ‘berperang’.

 

Rupanya agenda besar hari ini belum lama dimulai. Di luar istana, teman-teman berorasi dan saling memantik semangat, tentunya ditemani barisan aparat berseragam coklat dan beberapa rekan media. Sementara para presiden mahasiswa BEM-SI sedang bernegosiasi untuk dapat menemui presiden negara kita, Susilo Bambang Yudhoyono. Aku dan Nifa masuk ke dalam barisan putri. Kami menyimak kalimat demi kalimat para orator, menyanyikan lagu-lagu perjuangan tercinta, sambil sesekali mengepalkan tangan meninju angkasa sembari berseru lantang, “Hidup mahasiswa! Hidup rakyat tertindas Indonesia!”

 

Massa aksi semakin ramai, berdatangan pula kawan-kawan kami dari Sumatera dan tuan rumah, Jakarta. Di TKP sendiri, kampus-kampus yang sudah datang merupakan perwakilan dari daerah Semarang, Bali, Jakarta, Bogor, Bandung, Depok, dan lain-lain. Kami masih menunggu kepastian apakah presiden SBY atau wakilnya Boediono bisa hadir menemui kami atau tidak untuk sedikit menenangkan hati kami. Di bawah matahari terik dan panas Jakarta yang menyengat, kami masih semangat menyuarakan keadilan. Ini bukan tentang seberapa banyak jumlah kita kawan, melainkan seberapa besar tekad kita memperjuangkan kebenaran!

 

Plak! Setapak tangan menepuk punggungku dengan amat tak manusiawi ketika aku sedang mengambil posisi sebagai border barisan putri. Border adalah lapis terluar yang erat untuk menjaga pasukan aksi di dalamnya. Aku pun menoleh. Berpikir, “Siapa sih ini cowo pake neplak segala, gak tau ya bersentuhan bukan mahram itu haram?!”

 

“Woy Na’, lo mau bantu jadi yang ngendorse polisi itu gak?” Tanyanya separuh berteriak sambil menunjuk barisan polisi yang berjaga di hadapan barisan mahasiswa terdepan, para pemegang panji.

 

“Respatiiiii!” Buset dah ini perempuan. Tangan boleh mungil, tapi neplak kayak kuli! “Hah? Emang ngapain tuh?”

 

“Iya, ntar kan barisan putra yang megang panji dibuka. Nah, putrinya maju. Lo bagian yang ngedorong-dorong polisi paling depan ya?!” Sang koordinator lapangan putri nan tegas ini menjelaskan dengan bantuan visualisasi kedua tangannya untuk membuatku lebih mudah mengerti maksudnya.

 

“Hmm, boleh-boleh,” sambil mencerna. Sebenarnya aku masih agak bingung, karena biasanya kalau aksi, cukup jadi peserta barisan. Jadi orator pun masih sekali-kali.

 

Adegan itu pun dimulai. Respati, aku, dan lima putri lainnya mengondisikan barisan peserta putri agar bertukar dengan barisan pemegang panji. Dan seperti yang diinstruksikan oleh korlap putri, aku berjaga di antara polisi dan barisan putri. Wow baiklah, ini toh maksudnya.

 

“Oke, siap ya putri. Saya hitung satu, dua, tiga, barisan maju empat langkah! Satu. Dua. Tiga!” Instruksi telah dilambungkan. Massa putri pun melangkah maju dan menekan posisiku yang langsung berhimpit dengan polisi yang badannya besar-besar.

 

Instruksi ini diberikan dua kali dan formasi barisan dikembalikan seperti semula. Para putri di dalamborder putra, sedangkan putra pemegang panji berjajar lagi menjadi pasukan terdepan. Sesaat setelah intruksi dorongan diberikan, salah seorang polisi berusaha setengah bercanda kepadaku dan beberapa peserta putri di dekatku.

 

“Hati-hati lho kalian dorong-dorongan, ntar ketabrak mobil,” cengirnya.

 

Eh? Polisi yang aneh. “Yah, kan kalo kita dorong bapak, yang ada juga bapak yang ketabrak duluan, hehehe…,” sambarku, disambut jawaban serupa dari para peserta aksi putri di dekatku. Waduh,speechless ya pak? Peace ah. Si pak polisi pun melengos.

 

Orator silih berganti. Mulai dari yang penuh konten, mirip stand-up comedy, jargon, curhat, hingga orasi dengan lagu Noah, semua macam orasi ada! Perwakilan putri diminta orasi. Aku dan Respati saling melirik dan memberi kode semacam “maju lo sana,” meski moderator meminta perwakilan dari UNNES dan tak ada yang maju. Aku yang merasa makin akrab dengan benda bernama pengeras suara atau toa ini, sebenarnya ingin mengambil kesempatan beraspirasi dan menebar semangat tersebut. Namun kemudian aku berpikir kembali dan mengurungkan niat. Yaa Allah, jangan sampai ini hanyasyahawatul kalam atau nafsu syahwat untuk berbicara di depan publik. Lagipula, kemarin aku sudah orasi di mimbar bebas kampus. Teman-teman UNNES lebih jarang aksi di Jakarta, sebaiknya mereka ambil kesempatan itu. Ini hanya kekhawatiran terhadap hal kecil yang berpotensi menjadi penyakit hati, riya’. Mungkin sepele, tapi berbahaya. Aku sering melihat orang-orang seperti itu. Jaga kami, Allah…

 

Akhirnya sekitar pukul 16, para presiden mahasiswa yang sempat bolak-balik Istana Negara menyampaikan hasil negosiasi mereka pada kami. Diwakili oleh Tanri, presiden mahasiswa universitas koordinator pusat BEM-SI, dia menyatakan bahwa bapak Presiden RI sedang tidak di tempat. Seruan “huuu” langsung menyeruak di udara. “Tuntutan dan hasil kajian sudah disampaikan ke pejabat Istana. Kita lihat saja kawan-kawan, apakah akan ada jawaban atau tidak. Jika tidak, maka jangan salahkan kita jika kita aksi lagi di sini dengan massa yang lebih banyak! Apa kawan-kawan semua siap??”

 

“Siaaaapp!” Jawab massa aksi mantap secara bersamaan.

 

Acara pun memuncak ketika ratusan surat dari rakyat untuk SBY, instalasi tugu rakyat, dan karangan bunga tanda duka cita atas kondisi bangsa delapan tahun terakhir yang ingin kami titipkan untuk diberikan kepada pak SBY dan Boediono, tidak diterima oleh pihak Istana. Kami pun membakar ketiga benda ini bersamaan dengan dua buah ban bekas, tanda aspirasi kami ini begitu tidak berguna di mata pemerintah! Tanri kembali memimpin aksi untuk membacakan poin-poin tuntutan kami yang berjudul “Mendobrak kebuntuan! SBY sudahlah…” sebagai agenda penutup aksi massa hari ini.

 

 

Sayangnya, baru sampai pada tuntutan kedua, salah satu border putra terputus dan menjadi titik lemah yang serta merta mendapat serangan para aparat berseragam coklat tersebut. Polisi menerabas masuk barisan kami dan mematikan api yang merupakan poros barisan, dengan CO2. Hal yang mengesalkan adalah ada oknum polisi yang dengan sengaja menyemprotkan CO2 ke arah barisan putra. Super menjijikan!!

 

Fatal. Penerabasan dilengkapi oleh tameng-tameng yang baru mereka hadirkan tepat di depan barisan putri dan hal ini mengakibatkan barisan kami lemah, panik dan barisan mulai kacau. Akhirnya aksi menjadi ricuh. Barisan putri langsung dievakuasi ke gedung RRI. Ada yang bilang, sebenarnya kita sudah sepakat dengan polisi bahwa aparat tidak akan menyerang mahasiswa hingga closing statement, namun karena putri berhambur keluar barisan, polisi jadi memanfaatkan keadaan ricuh ini dan mulai mengejar pentolan-pentolan aksi. Kabar burung juga bersuara bahwa ada miskomando di internal pihak kepolisian. Benar-benar sedih dan kecewa! Padahal kami sama sekali tidak menyerang, tapi empat orang dari kami dihadiahi bogem mentah dan diamankan. Aku menebak bonus gebuk masih tersedia di Polsek untuk Rendi, Farid, Udin, dan Irul.

 

Sebagian dari kami ada yang panik karena teman kami ditangkap, sebagian lagi langsung berkumpul dengan teman sekampus masing-masing, sebagian lainnya masih bermain dengan polisi, dan berbagai adegan dramatis sebagai anak kericuhan yang baru saja pecah. Aku mencari-cari Nifa yang masih mahasiswa tingkat satu. Alhamdulillah ia aman di gedung RRI. Kami lalu berpelukan karena keadaan tengah mengkhawatirkan. Sambil menunggu kericuhan mereda dan anggota masing-masing kampus lengkap, kami mempersiapkan kepulangan. Aku, Nifa, dan Wicak bertukar tempat dengan Arbi, Faris, dan Yorga. Faris dan Yorga akan memastikan keadaan Anjar–presiden mahasiswa ITB– dan Wirana, baru akan pulang bersama bis Unpad. Sedangkan kami langsung naik ke mobil bersama Geni, Akrim, Zaki, dan Luthfi untuk segera pulang ke Bandung.

 

Sendi-sendi ini rasanya ingin lepas. Mengoordinasi lapangan ternyata bukan perkara santai. Membagi makanan dan minuman agar peserta aksi tetap bertenaga menjemur diri di atas aspal panas, adu dorong dengan polisi, berkeliling mengondisikan barisan, memastikan peserta tidak ada yang sakit, memberi mereka semangat, bahkan mengikatkan tali sepatu border yang sulit bergerak karena kedua tangannya mengait kuat dengan tangan border di kanan-kirinya. Benar-benar hari yang luar biasa!

 

Di tengah perjalanan, kami bertujuh rehat sholat dan makan. Ternyata lelah bukan milikku saja, tapi kita semua. Waktu menunjukkan pukul 20.30. Aku pikir setelah makan aku bisa tidur tenang di mobil dan mengembalikan kekuatan untuk kembali beraktivitas besok. Ternyata hidup ini memang sulit ditebak…

 

“Aduh, gantian dong. Capek nih,” ungkap Wicak, supir kepulangan malam ini.

 

“Saya sudah menunaikan kewajiban nyetir pas berangkat hehe,” Geni berkilah.

 

Akrim belum bisa menyetir. Nifa, Zaki, dan Luthfi masih tingkat satu. Sisanya?

 

“Errr… Yaudah sini aku supirin,” aku mengambil kunci yang dilelang Wicak.

 

Setengah perjalanan lagi nih ke Bandung. Jujur saja kawan, ini pertama kalinya aku menyetir di tol. Malam pula. Awalnya mereka agak was-was karena belum pernah lihat aku menyetir, lama-kelamaan semuanya tidur juga meninggalkan aku yang sendiri beradu dengan jalanan. Apalagi saat bayar tol, bahkan mungkin ada yang memaksa tidur begitu gerbang tol menampakkan diri. Awas kalian ya. Hmm, semangat Na’! Hahaha.

 

 

 

 

 

 

————————-*—————————-*————————*—————————-

 

 

Writing Competition ini merupakan salah satu rangkaian acara dari Indonesia Muslimah Fest bekerjasama dengan FLP Bandung. Ikuti lomba & Audisi lainnya seperti Lomba Menyanyi, Model Muslimah, Rancang Hijab dengan Hadiah Utama Tour Eropa, Asia dan Umroh juga Hadiah Ratusan Juta lainnya. Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui:

 

web              : www.festivalmuslimah.com

Twitter         : @MuslimahFest

Fb                 : www.facebook.com/FestivalMuslimah

 

sebenernya kriteria penilaiannya lebih ke kualitas penulisan, tp ada juga utk tulisan favorit berdasarkan jumlah like dan comment. so, di like, comment, and share yah di http://www.facebook.com/notes/ratna-nataliani/curhatan-seorang-demonstran/10151079556902694. berhubung aksi kemaren cukup perlu diingat, anggap aja saya lagi bikin notulennya ini hahaha 😀

Kisah Semut Hijau

Alkisah, di sebuah pedalaman hutan belantara terdapat kerajaan kecil nan makmur sejahtera. Kerajaan tersebut adalah kerajaan semut. Kerajaan yang aman dan damai. Meski semut memiliki berbagai macam jenis dan kelas, mereka tetap hidup dalam tentram dan kehidupan sosial yang menyenangkan. Beberapa kabilah besar di dalam kerajaan itu antara lain semut merah, semut hitam, dan semut hijau. Dari total 90.000 jiwa semut, 60.000 merupakan dari ketiga kabilah ini.

.

Sejak dipersatukannya seluruh semut di hutan tersebut, kerajaan semut dikepalai oleh kepala kabilah semut hijau. Pemimpin di kerajaan itu dipilih dari semut hijau karena semut hijau terkenal memiliki tubuh yang kuat, giat bekerja, ramah, gemar berbagi, dan tidak sombong. Dari kelas semut putih hingga semut hitam, maupun kabilah yang sedikit maupun yang banyak, memilih semut hijau untuk memajukan kepala kabilahnya sebagai pemimpin kerajaan. Maka hingga saat itu pun semut hijau masih menjadi pemimpin tercinta di kerajaannya setelah turun temurun memimpin.

.

Hingga sampai suatu pergiliran kekuasaan semut. Kerajaan ini pun kembali dipimpin oleh semut hijau. Sayang, di awal pemerintahannya, terjadilah fitnah. Sekelompok oknum semut tertentu telah memainkan suatu mainstream publik dan menyebabkan kegoyahan pada titik-titik vital kesejahteraan rakyat. Konspirasi ini berimplikasi pada adanya suatu kesimpulan mengenai ketidakmampuan sang raja baru mengemban amanahnya sebagai pemimpin masyarakat semut. Akibatnya, kekuatan rakyat terkumpul untuk melakukan kudeta terhadap raja.

.

“Turunkan Raja!”
“Turunkan Raja!”

.
Kepala kabilah semut merah dan semut hitam yang tidak lepas dari dampak konspirasi keji oknum tersembunyi tersebut ikut mengambil tindakan. Dua kabilah terbesar lainnya kini menjadi oposisi, maka kabilah semut hijau layaknya musuh bersama.
.

“Raja semut hijau memang harus segera diturunkan.” Tegas kepala kabilah semut merah.
.

“Tapi, ini terlalu terburu-buru, kawan. Lagipula baru kali ini hal seperti ini terjadi. Bagaimana jika kita beri Raja semut hijau kesempatan?” tukas kepala kabilah semut hitam.
.

“Tidak! Tidak ada waktu lagi. Kita tidak boleh membiarkan Raja pembangkang itu terus membiarkan rakyat dalam keadaan seperti ini.” Nada suaranya meninggi. “Aku dan kabilahku akan tetap melawan Raja.” Putusnya.
.

Kepada kabilah semut hitam diam, ia menunduk. Berpikir. Memang sulit, tapi tak ada pilihan lain. Keadaan kerajaan kita sedang kacau balau, seperti Indonesia. Hanya bedanya, di Indonesia yang menjadi pengacau adalah Raja dan antek-anteknya.
.

Bagi kabilah semut hijau sudah tak ada lagi kawan, yang tersisa hanya lawan. Berbagai cara telah dilakukan kabilah semut hijau untuk mendamaikan kerajaannya dan menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Seperti yang biasa mereka lakukan. Sayangnya kali ini berbeda, kekacauan yang terjadi telah melewati ambang batas. Rakyat sudah tidak mau lagi mendengarkan perkataan raja, maupun para pendamai.
.

Semakin hangat kericuhan kerajaan berlangsung. Pada klimaksnya, kerajaan semut terpecah menjadi dua blok. Yang pertama adalah blok semut hijau, dan yang kedua adalah blok non semut hijau. Memang, tidak benar-benar seratus persen penduduk kerajaan semut yang selain dari kabilah semut hitam dan semut merah masuk ke dalam blok non semut hijau. Ada beberapa semut yang masih percaya bahwa ini merupakan suatu fitnah belaka. Dan merasa dengan berada di kabilah ini adalah suatu hal yang lebih baik.
.

Jumlah kabilah semut hijau adalah sekitar 18.000, dan pendukung lainnya sekitar sembilan ribu semut. Jauh berbanding dengan jumlah oposisi yang mendekati dua pertiga kerajaan. Namun dengan track record yang dimiliki oleh kabilah semut hijau, masih sangat mungkin bertahan bahkan sampai kabilah oposisi mencetuskan bendera perang. Dan benarlah perkiraan blok semut hijau, dua hari setelah perpecahan terjadi, kabilah oposisi menyatakan perang. Masing-masing mengatur strateginya.
.

“Kita bangun benteng setinggi pohon!”
“Kita buat baju perang terkuat!”
“Kita bangun base jaga di sini, dan di sana.”
.

Singkat cerita, tembok-tembok tinggi telah dibangun oleh masing-masing kubu. Pada pohon-pohon pun telah dibuat base camp jaga agar dapat menyenter dari ketinggian, jika ada penyelinap yang berniat mengacaukan kabilah dari dalam. Masing-masing kabilah juga telah menyiapkan baju perang dan peralatan-peralatan perangnya. Berbagai bahan makanan pun diatur sedemikian rupa supaya bisa memenuhi kebutuhan selama peperangan.
.

Ukuran tubuh semut hijau memang relatif lebih besar dibanding rata-rata ukuran semut lainnya. Semut hijau dapat disetarakan dengan tiga ekor semut sedang lainnya. Di kabilah semut hijau, pembagian wilayah perang dilakukan. Raja secara langsung mengepalai peperangan sebagai panglima. Raja membagi kekuatan secara adil. Total kekuatan mereka adalah sekitar 27.000 pasukan.
.

“2.000 pasukan bertugas membangun benteng dan mengurus pasokan makanan, sedang 25.000 lainnya akan disebar ke seluruh wilayah panas agar mendapat pertahanan yang cukup imbang.” Ketuk palu oleh Raja.
Memang harus begitu. Jumlah mereka jauh lebih banyak dibanding pasukan lawan. Sebesar apapun ukuran tubuh atau sesinergis apapun mereka bekerja, mereka tetap butuh pasukan di tempat-tempat vital tertentu. Jangan sampai titik tersebut dibiarkan lemah, apalagi kosong.
.

Keesokan harinya, di kala fajar, kabilah non semut hijau mulai menyerang di berbagai titik. Pasukan yang menyerang tidak sebanyak jumlah yang dimilikinya. Dia menggunakan taktik yang berbeda. Hanya dalam beberapa saat pertempuran memanas dan memorak-porandakan pertahanan semut hijau. Ternyata strategi yang telah diputuskan Raja pada malam sebelumnya tak dilakukan. Dari 25.000 pasukan yang atur berperang, hanya lima ribu yang turun dan benar-benar beraksi.
.

Di dalam benteng semut hijau
.

“Mengapa kau ada di sini?” Tanya seekor semut hijau yang mengurus makanan kepada sekelompok pasukannya yang berada di sekitar benteng. . “Bukannya kalian seharusnya menjaga titik (7,4)?” lanjutnya.

.

“K..k..kami…kami tidak ingin berperang.” Jawab salah seorang di antara mereka.
.

“Ya, kami ingin tetap hidup. Biarkan kami di sini. Lagipula, teman-teman yang lain adalah pasukan-pasukan yang tangguh. Kami akan keluar ketika akan dibutuhkan saja.” Timpal seorang yang lain lahi.
.

Benteng semut hijau sangat ramai. Sekitar 20.000 semut bertahan di dalamnya, dengan berbagai alasan. Ada yang tidak siap berperang, tidak mau, lebih nyaman di dalam benteng, ingin membantu pasukan penjaga benteng, dan sebagainya. Dan pembelaan mereka relatif sama, para pejuang yang telah dikirim berperang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Ditambah lagi ternyata tidak banyak pasukan kabilah non semut hijau yang memerangi.
.

Berita ini sampai ke telinga Raja. Marahlah Raja. Saat itu pasukan semut hijau sudah dipukul telak. Lima ribu pasukan hampir lenyap semua. Raja memerintahkan agar menambah semua pasukan yang ada di benteng untuk turun berperang. Tiba-tiba pasukan musuh datang berbondong-bondong dari berbagai penjuru. Namun masih juga, para semut hijau yang kuat dan baik tersebut hanya keluar sebagian. Lima ribu pasukan keluar lagi. Tak perlu menunggu lama, dipukul mundur lagi. Turun lagi lima ribu, dipukul lagi.
.

Hal ini terjadi secara berulang hingga pasukan semut hijau berhasil dipukul mundur dengan telak. Benteng dirobohkan, puing-puing berserakan. Seluruh kabilah semut hijau mati. Termasuk sang Raja. Kebenaran pun tak pernah terungkap bahwa Raja tidak bersalah. Dan akhirnya, habislah pertempuran.
Namun setelah itupun, pertikaian tak jua berakhir. Oknum keji masih eksis. Mereka pun merekayasa dan menjadikan kabilah semut merah dan hitam berebut kuasa.
.

“Sudah cukup tragedi perang saudara dengan semut hijau. Muak aku denganmu, Merah.” Ucap kepala kabilah semut hitam yang terkenal penyabar.
.

“Tragedi dengan semut hijau bukan salah kita, tapi salah mereka.”
.

Menghindari debat kusir, dengan cepat kepala kabilah semut hitam memutuskan, “Biarkan aku dan rakyatku berhijrah. Biarkan kami memiliki kehidupan sendiri seperti dahulu. Biarkan kami memutuskan apa yang ingin kami lakukan.” Ia lalu meninggalkan kepala kabilah semut merah berdiri termangu. Segalanya pun terberai.
.

Begitulah, semut hijau telah binasa. Padahal ia adalah sebaik-baiknya semut yang pernah diciptakan. Sayang, di saat tertentu mereka tidak menunjukkan bahwa mereka adalah semut terbaik. Mereka malah menjadi pengecut dan merusak strategi serta keadilan.

Cepatlah Datang, Saya Bosan Menunggumu. (kado utk seorang teman)

“Salam ‘aleykum.”

“Wa’alaykissalaam. Allah razı olsun, yaa Hamiid.”

Selepas mereka memelukku, aku pun beranjak menuju ruang tunggu bandara. Agak berat meninggalkan Alexandria di saat riset yang harus dilakukan sedang menumpuk, tapi toh aku melakukan ini karena keperluan perkembangan riset kami. Sekarang aku telah berada di dalam badan pesawat dan segera kembali ke tanah air. Bukan karena ini jadwal pulang ke tanah air, tetapi hasil riset laboratorium kami telah berhasil melahirkan sebuah terobosan yang mendunia. Tinggal menunggu kesempatan mendapat nobel. Pasti bisa.

Bertahun-tahun kami mengembangkan teknologi wiring dan instrumentasinya dengan menggunakan bahan-bahan organik sebagai bahan dasar. Sehingga buangan, atau limbahnya dapat di-recycle, lebih cepat diurai dan tentunya ramah lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan pembangkit energi dan automasi yang telah menghubungiku berani membayar mahal atas kerja keras kami ini.

“Tung tung tung tung. Good afternoon ladies and gentlemen, in thirty minutes ahead we are going to land in Soekarno Hatta international airport. Please keep tighten your seatbelt. Thank you. Tung tung tung tung.” Begitu yang aku dengar.

“Hmm… Jakarta.” Aku tersenyum sambil menjulurkan pandangan ke luar jendela. Sudah setahun lebih aku tidak pulang karena pekerjaan di beberapa laboratorium riset adjoinku di Alexandria, Tokyo, dan Meksiko. Akhirnya di Cengkareng juga pesawat yang kutumpangi mendarat. Senangnya.

Keluar dari bandara aku langsung berangkat ke Bali. Bukan karena ingin berlibur, tapi perusahaan yang akan aku datangi berada Kepulauan Flores. Tepatnya di pinggiran perairan Celah Flores, perbatasan dengan Timor Timur. Tentunya aku telah mengatur jadwal agar aku bisa tenang menghadapi pelanggan, karena ini bukan bisnis biasa. Malam ini akan kuhabiskan dengan beristirahat dan menyujudkan diriku di tanah Kuta agar transaksi lancar dan memuaskan. Besok pagi-pagi aku akan ke Flores dengan jalur laut.

***

“PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS LAUT (PLTPL)”

“PT. BINTANG BERSINAR”

Begitu tulisan besar yang berada di hadapanku saat ini. Pagar utama perusahaan ini sangat besar, tinggi dan terlihat sangat kokoh. Aku beranjak ke pojok pagar. Ada sebuah tombol dan semacam speaker dengan tiga garis horizontal. “Standar lah,” pikirku. “Pencet tombol, panggil satpam, memperkenalkan diri dan dia akan segera membuka pagar.” Begitu kutekan tombol itu…

Tit tit tit… Sebuah cahaya laser berwarna biru dari salah satu garis horizontal tadi seperti men-scanku dari atas kepala hingga dada. Tiga detik kemudian lampu hijau menyala, kemudian mengeluarkan suara, “Hamida Amalia”. Seketika salah satu bagian pintu pagar selebar dua meter terbuka. Begitu masuk, aku langsung di sambut oleh dua orang satpam yang sangat ramah dan rapih.

“Silakan Ibu, handphone dan benda logam lainnya dilepas dan tasnya bisa diletakkan disini.”

Wow. Aku masih terdiam. Satpam itu menunjukkan tempat dimana aku harus menaruh tasku. Aku tahu tas itu akan di-scan, tapi entah mengapa sekarang aku merasa seperti sedang di bandar udara New York karena dihadapanku telah ada sebuah alat pendeteksi logam dan tentu saja aku melewatinya dengan aman. Yaiyalah, memang aku bawa apa heh? Akhirnya aku keluar dari tempat itu, entahlah apa namanya. Mungkin pos satpam, mungkin juga bukan. Dan entah bagaimana pula satpam itu telah tahu keperluanku dan segera mengantarkanku ke ruangan kepala bidang Riset dan Pengembangan perusahaan pembangkit listrik ini sampai ke depan pintu ruangan. Benar-benar pelayanan yang mengesankan.

“Ada juga ya yang seperti ini di Indonesia. Boleh juga perkembangan Negara ini,” gumamku.

Tok tok tok! Aku mengetuk pintu ruangan yang ada pelang bertuliskan:

MUHAMMAD MADZKURI, S.T., M.T., Ph.D.
Kepala Bidang Riset dan Pengambangan

Begitu Pak Kuri membukakan pintu dan mengucapkan salam, mempersilakan saya masuk serta duduk, beliau langsung merapihkan kertas-kertas di mejanya. Aku melihat sekeliling. Hmm, tadinya aku pikir ada lift khusus untuk masuk ke ruangan seorang kepala bidang perusahaan maju seperti ini, ternyata mereka mendapatkan fasilitas yang sesuai; ruangan yang nyaman dan rapih, tapi tidak berlebihan. Mungkin memang seharusnya begini eksekutif kalangan atas memperlakukan dirinya.

“Maaf bu Hamida, Ibu Direktur sedang menunggu anda di ruangannya. Entah mengapa kali ini beliau ingin bertemu langsung dengan inventor, tapi beliau tidak mengatakan apapun selain meminta tolong kepada saya agar segera mengantarkan anda menuju ruangan beliau begitu anda tiba,” terangnya ramah.

Saya tersenyum. “Oh begitu… Nggak apa-apa, Pak. Saya senang bisa bertemu langsung dengan Direktur perusahaan ini.” Bahkan kalau perlu, bapak tidak perlu repot-repot mengantar saya, kataku dalam hati.

Kami berjalan menuju lantai empat gedung ini. Dan anda tahu dengan apa? Tangga. Tadinya aku pikir satpam tadi mengantar lewat tangga karena memang ruangan pak Kuri berada di lantai satu.

“Kenapa kita tidak naik lift, Pak? Memangnya ada berapa lantai gedung ini?” tanyaku.

“Di gedung ini ada empat lantai, Bu, dan memang di gedung ini tidak dibangun lift. Semua gedung di perusahaan ini tidak memiliki lift kecuali jika banyaknya lima lantai atau lebih. Sejak awal memang didesain seperti ini, sesuai dengan keinginan ibu Direktur.”

Baiklah, aku terima saja. Untungnya aku sering berolahraga, jogging setiap pagi selama di Alexandria. Di sana memang banyak taman-taman kota, makanya aku berminat lari. Tidak terasa kami sudah berada di lantai empat. Hanya ada satu ruangan utama di lantai ini, yaitu untuk Direktur perusahaan. Tata ruang tidak berbeda jauh dengan lantai-lantai sebelumnya, tetapi di sini memang sedikit lebih sepi. Seorang sekretaris menyambut kami di depan ruangan.

“Permisi mbak Gloria, ada tamu penting,” tegur pak Kuri sambil tersenyum.

“Oh iya Pak, Bu Direktur telah menunggu Bu Hamida di ruangannya sejak tadi. Silakan, Bu,” jawab si sekretaris tak kalah ramah. Aku tersenyum, lalu meneruskan langkah menuju pintu.

Ditunggu sejak tadi? Hmm, memang barang temuanku membuat semua orang ingin segera bertemu aku. Narsis dikit nggak apa-apa dong. Hehehe…

“Ini Bu ruangannya. Boleh saya tinggal sekarang?” ucap sang kepala bidang Riset dan Pengembangan mengarahkan tangannya ke arah depan kami.

“Oh tentu, tentu saja. Terima kasih telah mengantarkan saya sampai di sini. Senang bekerjasama dengan anda,” kataku sambil mengatupkan kedua tanganku di depan dada.

“Sama-sama. Maaf tidak bisa mengantarkan hingga ke ruangan, ini juga perintah bu Direktur. Saya permisi,” sepeninggal beliau juga mengatupkan kedua tangannya lalu membelakangiku.

Aku mengernyitkan dahi. Perintah? Direktur yang aneh… Yah, siapapun dia, yang penting berani membeli penemuanku dengan harga tinggi, oke aja. Apalagi pertama kali diaplikasikan di negeri tercinta. Lengkaplah sudah. Aku tersenyum lagi. Menarik napas, lalu menghembuskannya. Sedikit merapihkan pakaian setelah itu segera berbalik badan dan melanjutkan langkah. Aku menyusuri menuju sebuah pintu kayu berwarna krem dengan sebuah pelang nama serta jabatan di depan pintu ruangan, persis seperti di depan ruangan pak Kuri tadi. Setelah dekat… Aaaaarrgghh… Betapa kagetnya aku mendapati nama orang yang tergantung di pelang tersebut!!!:

RATNA NATALIANI, S.T., M.H.
Direktur Utama

“Awas lo ye…”

Bandung, 23 April 2010, 11.32 pm

Happy milad yg ke-20, Saudariku! Barakallahu laki. ^^

Saya Pikir Segede Apa.. =,=’

“Eh liat deh, banyak ulat bulu.. hiii..,” kata Uni Ocha menunjuk beberapa ulat bulu berwarna coklat-orange sebesar jari kelingking manusia dewasa dan gendut-gendut.. Aku dan Amal melihatnya dan ikutan ber-hiii-hiii-ria.

Saat itu kami sedang di samping istek, dekat pohon besar, berjalan menuju pesta ice cream akhwat G-pusat di taman ganesha ahad pagi kemaren.. sebenernya sih bukan pesta ice cream, tapi ngobrol seputar GREAT GAMAIS 2010 dan ngobrol tentang keberjalanan Gamais selama kurang lebih 3 bulan ini.. Tapi gatau kenapa kok yang diinget pesta ice creamnya.. 😛

Sesampainya disana, sudah ada Teh Tuti, Teh Nisa, Teh Nadya, Teh Gita, Herafi, Irna, dan beberapa akhwat lainnya. Agak lama mengobrol sembari menunggu akhwat2 lain, akhirnya kami memulai pembicaraan saat ice cream dari Teh Sri udah dateng. (wah senangnya, tujuan dateng kesini tercapai juga.. hehe..). Ditambah lagi dikasih bonus sekotak fullo sama orang-orang tak dikenal setelah memberikan tanda tangan kami.. Ajegilee.. Uda kayak artis aje nih mbak-mbak.

Oke, setelah agak ramai, udah dateng tuh Teh Dyah, Rina, Reni, dll, lanjutlah diskusi kami..

Tiba-tiba.. “Na’, diem deh, ada ulat tuh di jilbabnya,” kata Herafi.

Seketika aku menutup muka.. Teriak kecil.. Meremas-remas rok teh Nisa di kiriku dan rok Hrafi di kananku.. Soalnya aku geli banget ama ulet.. Ulet bulu lagi.. Brrrrr… (loh? kok ‘brrr’ sih Na’?)

“Herafi.. Tolong.. Herafi.. Herafi.. Huaaaa..,” jelek banget deh ini. Mana si Herafi ngejawab lagi.. “Iya Na’, Herafi disini aja kok, gak kemana-mana..” Sambil senyam-senyum dan kayaknya yang lainnya juga ikutan ngetawain aku.. Huhu.. Derita Anak Tiri.. Apasih Naaa’?? <_<
Tapi untung ada woman of the day, teh Nisa yang serta merta mengambil ulat itu dan membuangnya jauh-jauh.. Wow teh Nisa wooowwww… \^o^/

Huaaa… senang sekali awak. 😀
“Hmm, seharusnya tadi kufoto dulu ya teh uletnya..”
“Iya, tapi teteh ga mau ngambil uletnya lagi, hehee,” kata Teh Nisa.
So am I sih.. Yaudin lah ya.. masa juga ga ada objek lain yang lebih imut apa?
Kebetulan waktu itu lagi bawa kamera dan aku emang hobi motret makhluk hidup kecil yang lucu-lucu.. Ngggg.. Ulet bulu ga lucu ah. (labil bgt ya nih orang!)

Tenang lah aku..

5.. 4.. 3.. 2.. 1.. (5 seconds remaining..)

“Aduh Na’, ada ulat lagi tuh di jilbabnya,” kata Herafi lagi sedikit panik.

Kali ini teriakku lebih hebring dan lebay. Nyaring banget parah lah dari yang sebelumnya. Tutup muka, teriak-teriak.. Aduh, malu-maluin aje ye? untung ga lagi pake jahim. hehehe…
Kenapa seheboh itu diriku? Karena, melihat ekspresi Herafi, aku rasa ulet bulunya agak beda (beda gimana Na’?), iyaaa, aku jadi keingetan sama ulet bulu yang kutemui sama Teh Ocha dan Amal di samping istek.
Gilak! Kalo ente liat uletnya, dan membayangkan lagi joged hula-huga-huba-bibi-hubi diatas jilbab ente, gimana tuh???
Mamaaaaaakkkk!!! Say NO lah pokoknya. Geli! Lagian kenapa juga ampe si ulat di aku mulu? Aku lucu ya? Atau mereka lagi bungee jumping dari pohon di atas kepalaku? o’emjiii.. >,<

Lagi-lagi sang superwoman Teh Nisa mengangkut ulet tersebut dari jilbabku. Tapi, superwoman bukan berarti manusia sempurna. Jatuh jualah itu ulat dari himpitan plastik di tangannya. NOOOOOOO!!!! Dan jatuh tepat di depanku. Dan…

NGEEEEEEEEEEEKKKKKKKKKKKKK

?????????????????
Aku terdiam sejenak….
“Ini ulatnya?” dalam hati aku merasa bodoh.
Benda kecil berwarna hitam berbulu berjalan cukup cepat di atas bukuku, dengan panjang badan sekitar SATU CENTIMETER dan tinggi sekitar 3 MILIMETER telah membuatku terlihat bodoh hari ini. Thanks to ulet bulu!
Tapi tetep aja, geli ya geli aja. Setelah sadar aku cepat-cepat loncat dari tempat aku duduk dan menjauh.
Teh Nisa mengamankan ulat bulu tersebut sebagai tersangka, biar dia ga bisa kemana-mana.
Sebagai hukumannya, si ulet bulu ku…. foto! hohohoo… ^o^/ aku menaaaang..
Dan udah gw bilang, DIA SEBENERNYA GAK LUCU!!! HUH.

Beberapa menit kemudian, si ulet bulu kami kirim jauh-jauh ke planet antah-berantah tak dikenal dan entah bagaimana nasibnya hingga malam ini, tidur dimana, makan apa, lagi dimana, dengan siapa, semalam berbuat apa… (???) Dan lupalah kami dengan beliau karena kami lanjut membicarakan GREAT GAMAIS 2010 yang intinya..

Kita memiliki mimpi, cita-cita yang hebat, maka jadilah kita orang-orang yang HEBAT!!

eh, iya ga sih teh? hehehe, yah kurang lebih mungkin seperti itu, kalo salah, mangga dibenerin. ^^

Nah.. Ibrahnya..
Gak semua yang kita bayangin itu beneran kayak gitu. Walau kita udah pernah mengalaminya sendiri sekalipun, tapi kemungkinan apapun bisa terjadi, selama Allah SWT berkehendak.. ^^

Oleh karena itu, dalam keadaan terhimpit seperti apapun, atau terjatuh sekalipun, kita jangan pernah menyerah!! Walau kemungkinan itu kecil.. Harapan seakan tak ada… Yakinlah kita bisa!
Harus selalu semangat dan jangan under-estimate sama keadaan yang ada. Apapun bisa terjadi. Jangan su’udzon dulu sama apa yang kita lihat dan rasakan.. Pasti ada sesuatu yang belum kita ketahui secara keseluruhan.. Itulah rahasia Allah SWT..

Semoga kita bisa menguatkan pundak-pundak kita,,
Setelah Allah menguatkannya..
Semoga kita bisa menjaga keistiqamahan kita,,
Setelah Allah meneguhkannya..

..ROAD TO GREAT GAMAIS 2010.. n_n9 hamasah!

Jungle War

Malam itu di tengah sebuah hutan belantara…

“Kera, zebra, buaya, kalian berjaga di pintu masuk timur sungai Gimusi. Ular dan badak, siap siaga di selatan, pinggiran Majim.” Sang Raja Hutan mengatur napas. Sambil terus memutar otaknya, mengatur strategi agar daerah kekuasaan dan tempat tinggal rakyatnya tidak diserang. Nanar matanya menghipnotis rakyatnya untuk bisa berjaga lebih ketat dari biasanya.

Sekarang matanya tertuju pada 3 ekor hyena. “Kalian, jaga hutan selatan Seyisa denganku. Aku akan menyusul setelah menyelesaikan beberapa hal disini. Terakhir kalian elang, gajah dan jerapah, berjaga-jagalah di dataran Ukame. Walau disana tenang, tetapi datarannya sungguh luas dan beragam. Tetaplah siap dengan penjagaan terbaikmu!”

Semangat itu berkobar di setiap pasang mata prajurit hutan. Kabar yang dibawa oleh pasukan kus-kus beberapa hari lalu, memporak-porandakan suasana, menyatukan kami agar lebih kuat di sektor jagaan masing-masing. Mereka pernah melihat sebuah ancaman di sekitar Hutan Seyisa. Sang Singa belum tau seperti apa musuh yang akan menerjang pintu selatan kerajaannya. Selama ini masyarakatnya tenteram dan damai. Hingga pada suatu hari ia harus mengumpulkan semua prajurit terbaiknya dalam barisan yang rapi. Memberi peringatan terhadap bahaya, entah apa, yang akan merusak negerinya.

Barisan-barisan itu segera bergerak.

“Tunggu!” kata Sang Raja Hutan. “Aku rasa para hyena perlu bantuan di sektor hutan selatan. Walaupun mereka prajurit yang kuat, tapi aku rasa mereka perlu bantuan. Kita harus siap menghadapi musuh dengan kekuatan maksimal. Kera, ikutlah dengan hyena. Aku yakin jika bersama, kita bisa lebih kuat.”

Para ketujuh kera diam, melirik satu sama lain.

“Baiklah kalau begitu, ketika kalian lihat matahari berada tepat di atas kepala kalian besok, maka kembalilah. Sekarang, saatnya bergerak!! RRAAUUMMM!!!” Singa itu mengaum sekuatnya, membangkitkan semangat para prajurit hutan.

Di tengah jalan menuju hutan Seyisa…

“Hendak kemana kalian para kera?” tanya hyena bingung mereka mulai menggelayuti pohon-pohon menjauh.. “Kami hendak ke sungai Gimusi.” “Hey, bukankah Raja telah memerintahkan agar kalian membantu kami di hutan Seyisa? Apa yang kalian lakukan? Kami sangat membutuhkan kalian.” “Tapi zebra dan buaya memerlukan kami untuk meneropong daerah sungai Gimusi, tidak mungkin kami meninggalkan mereka. Lagipula, kami yakin para hyena ditambah Singa dapat menjaga hutan selatan dengan baik.” Para kera tersenyum tulus memberi semangat, lalu berayun pergi. Para hyena terus berlari.. Menyesali perbuatan kera.

Hari mulai terang…

“Ayo kita kembali ke tengah hutan. Sepertinya musuh kita tidak menyerang sungai Gimusi,” kata ular pada kera. “Yah. kau benar. Hey buaya, mari segera kembali ke tengah hutan!”

Tak lama kemudian. Mereka telah berkumpul di tengah hutan. Matahari di atas ubun-ubun, tetapi tak satupun hyena atau Raja Hutan memperdengarkan aumannya. Semakin resah..

Matahari mulai turun…

Grusuk.. Grusuk.. Semuanya menoleh ke arah semak-semak yang bergerak. Seekor hyena dengan tubuh lunglai terus berusaha berjalan, walau akhirnya terjatuh… “Mereka menembus kami…” suaranya parau.

Seketika hening.

Sepertinya hyena itu sudah tak bernyawa lagi.

“Apa yang terjadi?” kata salah seekor gajah. “Apa yang harus kita lakukan sekarang???”

Mobil Baru

Tok! Tok! Tok! “Permisi?!”

Aku segera melangkah menuju sumber suara. Lalu sambil merapikan jilbab, aku membuka pintu. Kulihat seorang pria berpakaian rapi seperti salesman dengan sebuah map berisi berkas-berkas di tangannya. Aku memperhatikannya sesaat, ia tersenyum.

”Permisi, Mbak.” tanyanya. ”Benar ini rumah bapak Widjaja Kartosoewirjo?”

”Mmm, benar. Ada apa ya, Mas?”

”Saya dari dealer Toyota ingin mengantarkan kiriman.”

Dahiku berubah menjadi beberapa lipatan. Lalu kutengok ke luar pagar, sebuah pick-up besar sedang menggendong sedan baru yang masih sangat mengkilap.

”Ayah beli mobil baru? Buat apa?” aku membatin.

Kemudian suara dari dalam rumah membuatku tersontak. ”Wah, wah… Kenapa masih di luar, Mas? Silakan masuk, silakan masuk.” Ayah tiba-tiba muncul kemudian menyeringai, mempersilakan tamu yang sedari tadi membingungkanku itu duduk. Ayah mengenakan kaos oblong coklat muda bergambar gajah, bertuliskan ’Thailand’ dan celana pendek. Perut buncit Ayah agak tertutupi dengan kaos berukuran XXL itu. ”Buatkan minuman untuk tamu kita, Layla,” perintahnya.

Aku yang berdiri mematung dan masih agak bingung di dekat pintu segera bergegas ke dapur untuk membuatkan mas-mas tadi segelas teh hangat, dan Ayah mulai berbincang-bincang dengannya. Setelah menaruh gelas di ruang tamu, aku segera ke kamar. Dari dalam kamar, aku bisa mendengar suara tawa Ayah yang terdengar girang. Girang sekali.

***

”Ha ha ha… Ya, baiklah. Terima kasih banyak, ya Pak. Selamat malam,” Ayah menutup telepon.

Aku sedang duduk-duduk di ruang tengah dengan adik laki-lakiku satu-satunya. Seperti biasa, aku membantunya belajar sambil menyelesaikan membaca buku karangan Amr Khaled di tanganku.

”Ayah yakin mau menerima mobil itu?” Ibu keluar dari kamar dan langsung membuka pembicaraan.

”Lha ya iya tho, Bu. Masa mobil sebagus dan semahal itu ditolak. Ada-ada saja ibu ini,” jawab Ayah sekenanya sambil mengutak-atik Blackberry Bold-nya.

”Bukan begitu, Yah. Maksud ibu…”

”Ah sudahlah, Bu. Yang penting kan keluarga kita bisa hidup nyaman dan tercukupi. Iya tho? Lagipula, hadiah ini sudah dimasukkan ke anggaran negara dan disahkan. Jadi, ibu tidak usah berpikir macam-macam,” sela Ayah memandang ibu tegas.

Aku yang sedari tadi menahan geram mendengar cengkrama Ayah dan Ibu pun tak bisa membendung kekesalanku. ”Ayah. Kenapa sih Ayah seperti ini? Ayah tahu kan negara kita mengalami banyak kesulitan?! Bisa-bisanya Ayah menerima mobil baru itu tanpa memikirkan nasib rakyat!” Nada bicaraku mulai meninggi.

Rupanya Ayah tak mau kalah, ”Layla! Sopan sekali kamu bicara pada Ayah. Tahu apa kamu soal negara, heh? Ayah bekerja ini buat kamu, ibumu, juga Bagas,” terangnya sambil menunjuk-nunjuk kami bertiga. ”Percuma Ayah membiayaimu kuliah hanya untuk melawan Ayah!”

Aku berdiri, ”Layla sudah besar, Ayah. Sudah mahasiwa, dan tidak buta soal pemerintahan. Layla sangat berterimakasih kepada Ayah yang telah membiayai kuliah Layla. Hanya saja, Layla ingin Ayah membiayainya dengan nafkah yang halal, agar ilmu dan segala yang kami dapat dari Ayah menjadi berkah, bukan bencana!” aku tahu aku harus segera berlari menuju kamar sebelum tangisku pecah. Aku bisa melihat wajah Ayah yang menahan amarah karena tersinggung perkataanku.

”Layla…” panggilan ibu tak kuhiraukan.

Mungkin keplegmatisan ibu tidak cukup untuk merubah Ayah yang semakin aneh akhir-akhir ini. Tepatnya setelah beliau diangkat menjadi salah satu menteri di kabinet Indonesia Terbaru season II tersebut. Ini bukan kali pertama aku berdebat dengan Ayah. Beberapa bulan yang lalu pun aku berdebat dengannya soal cincin yang juga hadiah dari the number one. Mungkin barangnya kecil, tapi menurutku itu masalah besar. Aku kesal melihat tingkah Ayah yang semakin meninggalkan keidealisannya. Padahal dulu saat beliau masih menjadi calon anggota DPR, beliau menyatakan janji-janji yang akan menyejahterakan rakyatnya apabila terpilih. Tapi buktinya? Aku kecewa dengan Ayah!

***

Paginya, sambil melintasi halaman rumah, aku melihat Toyota Royal Crown dengan dua digit nomor pada platnya. Kemudian aku menoleh ke arah Toyota Camry kami yang baru berusia lima tahun, kondisinya masih terbilang baik. Aku tidak habis pikir, mengapa the number one negara ini malah memberikan fasilitas yang berlebihan untuk para bawahannya. Padahal, pemimpin adalah pelayan. Masa pelayan gonta-ganti mobil? Ckckck…

”Ayo, Gas. Kita berangkat ke Puncaaaak…!” kata Ayah sambil menurunkan Bagas dari punggungnya menuju mobil baru kami. Sebenarnya aku malas harus ikut ke puncak, apalagi perdebatan antara aku dan Ayah masih meninggalkan suasana yang kurang nyaman. Ditambah lagi dengan Ayah mengendarai mobil yang aku tak tahu halal-haramnya. Tapi karena kata Ayah ini undangan walimah dari keluarga the number two Indonesia, tidak sopan kalau ada keluarga yang tidak ikut. Lagipula, mendatangi walimah hukumnya menjadi wajib apabila kita diundang.

”Layla, sudah kau masukkan payung ke dalam mobil?” panggil ibu.

”Iya. Sudah, Bu.” aku mengangguk. Memang sedang musim hujan beberapa bulan ini. Ibu terlihat cantik mengenakan jaket tebal abu-abu yang beliau beli saat kami berwisata ke Shanghai tahun lalu.

Kami sudah masuk ke daerah Cisarua, Bogor. Kabut tipis yang menghalangi pandangan mulai menebal. Mengikis kemampuan melihat mata kami semua. Selingan hujan gerimis mewarnai perjalanan kami. Bagas yang duduk bersamaku di kursi belakang tertidur pulas. Perjalanan jauh rupanya cukup melelahkan baginya. Ibu sesekali memperingatkan Ayah untuk mengurangi kecepatan mobil kami. Saking tebalnya kabut disini, Ayah harus menyalakan lampu depan mobil dan berjalan sekitar 30 km/jam.

Tiba-tiba… BRUK!! Bagas terbangun. Hantaman dari arah belakang cukup membuat Ayah mengeluarkan sumpah serapahnya. Ayah berniat menepikan mobil dan menuntut ganti rugi kepada mobil yang menabrak kami. Tetapi, mengingat kabut tebal yang tidak nyaman, membuat Ayah mengurungkan niatnya. Lagipula Ayah pasti juga berpikir, Ia sedang mengendarai mobil yang platnya diawali dengan dua huruf sakti dan apakah beliau harus meminta ganti rugi kepada orang biasa yang menabraknya? Sungguh tidak elegan.

Dalam hati aku sedikit menyadari bahwa mungkin saja memang mobil ini tidak diberkahi. Aku penasaran melihat wajah Ayah saat mendapati bagian belakang mobil kami yang penyok parah atau lampu belakang yang pecah. Sebenarnya aku ingin tertawa, tapi aku tahu Ayah pasti akan semakin tersinggung apabila mendengarnya, dan akan semakin murka padaku. Aku diam saja mendengar Ayah yang belum berhenti mengungkapkan kekesalannya kepada ibu di kursi sebelahnya.

Kami hampir sampai. Aku membangunkan Bagas, lalu melihat-lihat keindahan alam sekitar. Subhanallah, indah sekali ciptaan-Mu. Daerah ini masih hijau dan asri dengan deretan villa-villa yang terbuat dari bambu. Di kejauhan, ada beberapa surau besar yang indah, dikelilingi oleh hijaunya rumput segar yang disinari matahari hangat ala Puncak. Membuat hati yang memandang menjadi sejuk seketika.

Ayah memarkirkan mobil dideretan mobil-mobil yang serupa dengan mobil Ayah. Acara walimah ini cukup mewah. Dari dalam mobil aku bisa melihat isi acara ini adalah orang-orang berjas dan berdasi. Para ibu mengenakan kebaya modern dengan tas-tas tangan bermerk yang aku yakin harganya tak mati tujuh digit. Seseorang menghampiri mobil kami. Ayah segera turun dari mobil disusul anggota keluarga yang lain langsung menuju pria itu, melupakan bagian belakang mobil yang entah bagaimana lagi rupanya.

”Apa kabar pak Widjaja?” sapa pria itu.

”Baik. Baik, pak Sudiro,” jawab Ayah langsung menerima jabatan tangannya.

Mereka bercengkrama, mengenalkan ibu, aku, dan Bagas. Kami mengikuti langkah mereka. Masih tak jauh dari parkiran mobil, kami menuju segerombolan bapak-bapak yang sedang bercerita seru sekali. Kira-kira apa ya yang sedang mereka bicarakan? Harga minyak dunia? Kurs rupiah? Penjajahan di Palestina mungkin? Atau malah pertandingan sepak bola semalam? Entahlah.

Kami berjalan mendekat.

”Wah, benar itu pak, saya juga gitu tadi waktu di jalan. Kesal sekali,” kata bapak berhidung bulat, menggeleng-gelengkan kepalanya.

”Bemper saya malah penyok, kelihatannya kerusakannya serius,” tambah bapak berdasi garis-garis diagonal hitam-oranye.

”Punya saya lebih parah lagi pak, spion nu kanan sampai lepas, euy,” sahut bapak berkacamata bercerita lebih heboh dengan bahasa Sundanya yang masih kental.

Ayah datang dan menimpali, ”Seru amat nih, pada ngomongin apa?” Ayah menepuk-nepuk bapak yang agak gemuk disebelahnya, terkekeh kecil.

”Itu pak Widjaja, liat aja mobil kami penyok semua gara-gara kabut tebal saat di perjalanan. Duh Gusti, padahal mobilnya baru dua hari,” respon bapak yang lain lagi seraya mengarahkan tangan kanannya ke arah parkiran, membuat kami sekeluarga langsung memalingkan wajah searah tangannya.

Mengesankan! Tujuh dari duabelas mobil yang terparkir disitu rupanya telah mengalami pengalaman yang berbeda. Termasuk mobil Ayah. Ada yang lampu belakang pecah, spion kanan patah, bemper penyok, plat mobil lepas, hingga goresan-goresan yang entah bagaimana bisa ada disitu, benar-benar membuatku geli. Yaa Allah, Engkau Mahaadil, tapi aku yakin, masih banyak keadilan-keadilan lain yang akan Engkau tunjukkan kepada kami.

Aku tertawa kecil sambil menutupi deretan gigi-gigiku. Ayah melirik. Aku berusaha tenang dan mengalihkan pandangan.

Bandung, 20 Januari 2010