Archives

From Krypton To Earth

Udah pada nonton Man of Steel alias Superman terbaru? Well, sebenarnya saya ga inget cerita film-film Superman yang sebelumnya dan apakah mereka sekuensial. Tapi film ini cukup bagus dan inspiring. It’s recommended to watch. Ga bermaksud spoiler buat yang belum nonton, hehe.. Just please let me share something about this. 😉

(http://ggjournal.com/2013/06/10/monday-briefing-man-of-steel-and-atlantis/)

Di film Superman yang terbaru, Kal-El (nama Krypton Clark Kent) merupakan seorang keturunan murni ras Krypton yang kita tahu merupakan ras yang wow. Kal-El “diinjeksikan” lagi oleh Ayah dan Ibunya dengan kekuatan Codex yang merupakan kumpulan sel-sel keturunan Krypton yang membuatnya makin kuat lagi. Simply, Kal-El adalah seorang yang amat sakti mandraguna sejak lahir dan dapat dipastikan pula ia akan menjadi seorang dewasa yang kuat.

Nyatanya, ketika Kal-El bayi terpaksa dilayarkan ke Bumi dan dibesarkan oleh orang tua barunya, ia menjadi seorang yang sangat lemah. Saat bayi, ia tak bisa bernapas dengan normal. Setiap malam ia kesulitan bernapas dan seperti enggan hidup. Begitu pula ketika Kal-El beranjak remaja, ia tidak mampu menguasai dirinya sehingga kekuatannya seketika adalah kelemahannya. Ini pun mengakibatkan bullying berkepanjangan dari teman-teman sekolahnya.

Beruntung, Clark Kent memiliki seorang Ayah dan Ibu di Bumi yang amat bijaksana. Terutama, mengajarkannya untuk bersabar, fokus pada tujuan, dan mengatur kekuatan yang berlebihan dalam dirinya. Bertahun-tahun upayanya untuk menjadi makhluk Bumi begitu payah. Bahkan seorang superpower bernama Kal-El butuh 31 tahun untuk benar-benar menguasai dirinya.

Setelah ia mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantui sepanjang hidupnya, ia sadar bahwa ia benar-benar bisa mengarahkan dirinya. Hingga Kal-El dewasa pun dapat menstabilkan kekuatannya. Dalam film tersebut, kita dapat melihat adegan Superman yang belajar terbang! Terbang dengan stabil dan mampu diarahkannya. Hmm, even a Superman learns to fly…

Secara sederhana, saya pikir ada benang merah yang menarik dari rangkaian cerita di atas. Bisa jadi kita amat superpower di suatu area, namun kita ternyata bisa tidak berdaya sama sekali jika tidak di area tersebut. Hal yang menarik adalah ketidakberdayaan itu terjadi bukan karena kekuatan kita yang menjadi tidak ada, tapi hal-hal lain di area tersebut yang membuat kita lumpuh.

Let say selama ini kamu di kampus adalah seorang yang dikenal, disegani, dan mungkin powerful. Setelah lulus, episode kehidupan baru dimulai. Masuklah kepada scene-scene yang amat baru, bahkan tidak terduga. Akankah kamu tetap dapat berlenggak-lenggok seperti saat kamu di kampus? Di saat keadaan begitu nyaman, segalanya under control, berani idealis, bahkan berteriak memaki mereka –orang ataupun sistem– yang menurutmu tidak berjalan semestinya.

Lalu saya kembali menatap diri dan bertanya, “Kamu harus keluar Bumi sekarang. Kesempatanmu untuk berlatih lebih keras dan menghajar monster-monster di luar angkasa sudah menunggu untuk diambil. Memang Bumi memerlukanmu, tapi yakinlah bahwa kekuatanmu terlalu besar untuk hanya menaklukkan monster-monster Bumi. Siapkah kamu terbang dan berpindah ke planet antah-berantah?”

I just faced this kind of situation and I was totally scared. For God sake, I’m not lying. Then I took a walk to throw this stress away, for an hour. A lot of worries were haunting my mind. A plenty of what-ifs did stuck in this head. Finally I got better with a question of, “what is the thing that obviously scared me now?” Yes, you’re right. There is none. Because all I need is to adapt, and to get to know what I do not know now. That simple. Because when I know about my new planet, I think no need to worry then.

As we watched in the movie, Clark Kent dibantu oleh kedua orang tuanya yang superbijak untuk mempelajari Bumi, serta menghadapi manusia-manusia di dalamnya. Mengenal Bumi dan perilakunya, kemudian menyesuaikan segalanya dengan apa yang dimiliki Clark. Dilengkapi oleh kehadiran Lois Lane yang membuat Clark semakin percaya diri karena kepercayaan yang diberi oleh orang-orang terdekatnya dan tahu benar kemampuannya. Akhirnya, khatamlah cerita Superman ini ketika ia mampu menguasai dirinya, mengoptimalkan kekuatannya, hingga berhasil menumbangkan musuhnya.

 

Sebuah pertanyaan tertinggal: Masa sih seorang Superman pernah takut dan khawatir terhadap dirinya? Bukankah dia superpower?

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allaah,” kemudian mereka tetap istiqamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka dan mereka tidak (pula) bersedih hati.” (QS. Al Ahqoof [46]: 13)

 

Alhamdulillaah… Beberapa waktu lalu saya mendapat taushiyah dari seorang teman yang ia dapat dari seorang ustadz tentang sebuah kalimat yang tersemat dalam ayat di atas. Pun dalam ayat lain yang mengandung kalimat serupa. Al Khouf, seperti yang kita tahu sebagai ‘ketakutan’ atau ‘kekhawatiran’, sebenarnya ada dua jenis.

Pertama, ketakutan yang datang dari diri sendiri. Misalnya ketika kita masih kecil dan sedang berada dalam pelukan ibu malam hari di rumah, seketika listrik padam. Pasti saat itu si anak kecil akan amat ketakutan, padahal sudah jelas tidak ada hal membahayakan atau yang membuat kita takut. Ditambah, dalam pelukan ibu. Ini ketakutan yang berasal dari dalam diri sendiri.

Kedua, ketakutan yang sumbernya dari luar diri kita. Misalnya ketika melihat seekor kecoa terbang di dekat kita, pasti kita (atau mungkin saya dan beberapa orang sejenis) akan ketakutan setengah mati. Atau ketakutan-ketakutan lain yang sumbernya jelas. Ketakutan yang kedua ini adalah ketakutan yang berasal dari luar diri kita.

Nah, yang Allaah jamin hilang dalam potongan ayat di atas adalah ketakutan yang kedua. Ketakutan dari luar diri kita. Jadi, wajar ketika kita merasa takut dalam suatu situasi dan mungkin dalam keadaan ruhiyah yang baik sekalipun. Well, even a Superman was. Hal yang perlu kita kenali adalah sumber ketakutan tersebut. Periksa betul dari mana datangnya, sehingga kita bisa men-treatment dengan benar. Kita akan segera menjawab ketakutan tersebut dengan fokus pada kekuatan dan mengarahkan kekuatan tersebut.

 

Sebuah kutipan inspiratif dari Amelia Mignonette Thermopolis Renaldi, the Princess of Genovia (film Princess Diaries), “Courage is not the absence of fear, but rather the judgment that something is more important than fear. The brave may not live forever, but the cautious do not live at all.” Yes, there is something more. Kata seorang teman, that something more is kemaslahatan yang besar, luas, dan panjang untuk ummat. Mintalah petunjuk kepada Allaah, then break your limit!

Thus my dear friends, keluar dari planet Kampus yang nyaman ini adalah keniscayaan. When we’re about to face a new planet, it may scared us. So I was. Jika alasan ketakutan itu jelas, maka solusikanlah segera dengan jelas juga. Sedangkan ketika ketakutan kita ga jelas dan terasa tak tersolusikan, curigailah sebenarnya alasan ketakutan itu sebenarnya ga pernah valid. Karena ketakutan itu kita yang mengada-adakan. Berhentilah berkata what if, mulailah segalanya dengan I believe.

Semoga ketakutan apapun itu akan segera hilang tersedot black hole dengan sebuah mantra: “don’t act like you don’t have Allaah.” It usually works. And thanks to Warner Bros for making this movie anyway. Wallaahu a’lam.

Mantan Orang Sholeh

“Duh gimana dong, gue udah gak sholeh lagi nih…”

Well, kalimat ini beberapa kali saya dengar dari teman-teman yang sudah lulus, bahkan saya sendiri pernah sempat mengatakannya. Awalnya karena mengikuti jalan cerita sang penutur alur, kalimat ini terdengar pas-pas saja dengan fakta. Namun ketika saya sedikit memikirkan kalimat ini lebih dalam, berusaha memandirikan kalimat tersebut dan membreakdown sekenanya, saya pikir kalimat ini agak… Mmm entahlah, mungkin kamu bisa bantu saya mendefinisikannya.

Dulu, ketika di kampus, kehidupan seperti lapangan yang dipenuhi ranjau amanah. Geser kiri dikit, amanah. Guling-guling kanan banyak, amanah. Koprol ke depan, eh amanah juga.

Dulu, ketika di kampus, mau rapat? Salman. Syuro? Salman. Janjian makan? Sekitar salman. Mau bayar utang? Depan tempat sepatu salman juga.

Dulu, ketika di kampus, jam enam pagi ngapain ke kampus? Syuro. Sebelum makan siang mau kemana? Ngementor. Weekend sibuk apa? Liqo dan tatsqif. Libur panjang ada apa? Dauroh.

 

Kini?

Gue sibuk, weekday kerja, weekend capek. Akhirnya, tilawah menipis.

Gue ada survei keluar kota, pulangnya pasti capek beut. Akhirnya, jarang QL.

Gue besok meeting sama klien di Ibukota, berangkat mesti pagi-pagi banget. Akhirnya, dhuha pun lost.

…dan-se-ba-gai-nya.

 

Imam Hasan Al Banna mengatakan, “Adapun tingkatan amal yang dituntut dari seorang al akh yang tulus adalah perbaikan diri sendiri, sehingga ia menjadi orang yang kuat fisiknya, kokoh akhlaknya, luas wawasannya, mampu mencari penghidupan, selamat aqidahnya, benar ibadahnya, pejuang bagi dirinya sendiri, penuh perhatian akan waktunya, rapi urusannya, dan bermanfaat bagi orang lain. Itu semua harus dimiliki oleh masing-masing al akh.”

Ya kawan, beberapa dari kita mulai merasa bahwa the life has changed significantly. Hal yang biasa kita lakukan di kampus, hampir gak dilakukan lagi. Bahkan kalau bisa, “eh deka, jangan deket-deket gue dong…!”

Lupa atau ingat, sadar ataupun tidak, nahnu du’aat qobla kulli syai’in. Bagi Allaah, kita tetaplah agen-agen-Nya yang siap menyebarkan kebenaran dan kebaikan. No matter how you doin’ now. Kuliah, riset, kerja, freelance, NGO, LSM, dan lainnya, kita masih da’i dan akan tetap selalu menjadi seorang da’i hingga pertanggungjawaban kita sebagai da’i di hadapan-Nya lunas nas nas nas!

Memang bukan berarti harus da’wah di kampus, atau harus syuro di Salman untuk menganggap diri ini masih sholeh. Saya pikir, standar sholeh di lingkungan aktivitas baru sangat mungkin berbeda, levelnya beda, tantangannya beda. Dan di lingkungan baru itu, kita tetaplah da’i, hey!

Harus kita sadari, da’wah ini akan tetap melaju, bahkan semakin kencang menuju kepada kejayaan Islam, dengan atau tanpa kita. Ya, dengan atau TANPA KITA, semakin hari Islam semakin dekat dengan kejayaan yang telah Allaah janjikan. Justru, kitalah yang membutuhkan da’wah.

Jadi logikanya, kita boleh berpikir kalau diri kita “udah gak sholeh lagi”, tapi “udah bukan da’i lagi” itu gak akan pernah terjadi. Dan seorang da’i merupakan teladan bagi (da’i) yang lain. Dapatkah seorang yang tidak baik (tidak sholeh) dijadikan teladan? Maka, yuk bareng-bareng berusaha untuk tetap sholeh bahkan lebih sholeh untuk menjadi da’i yang berkualitas. Da’wah memang bukan segalanya, namun segala bisa menjadi tak berguna apabila kita tidak niatkan untuk berda’wah.

Suatu saat nanti, jika kita bertemu kembali sebagai seorang engineer, saintis, entrepreneur, politikus, dosen, dan sebagainya… Sebenarnya saat itu saya sedang bertemu dengan seorang da’i yang berkecimpung sebagai seorang engineer, saintis, entrepreneur, politikus, dosen, dan sebagainya pula. Maka, jagalah status da’i-mu selagi mengejar status-status baru lainnya. Status-status itu tidak saling mengganti, namun saling melengkapi.

 

Jika komitmen terhadap dakwah benar-benar tulus, maka setiap orang yang kurang teguh komitmennya akan menangis, sementara yang bersungguh-sungguh akan menyesali dirinya karena ingin berbuat lebih banyak dan berharap mendapat balasan serta pahala dari Allah. – Komitmen Da’i Sejati, Muhammad Abduh

 

Status mahasiswa boleh hilang, tapi status da’i kita bawa mati, kawan!

 

*tulisan ini juga dipublish di Islampos: http://www.islampos.com/lagi-lagi-mantan-orang-sholeh-70070/

Resume Buku Kebebasan Wanita Jilid IV (Abdul Halim Abu Syuqqah)

Hlm. 17-18 tentang Makna Hijab

v  Mengapa penulis tidak menggunakan istilah hijab?

  1. Bertentangan dengan makna “Hijab” dalam Alquranul Karim

Dalil à A’raaf: 44-46, Shaad: 31-32, Fushshilat: 5, Asy Syura: 51, Al ‘Isra’: 45, Maryam 16-17, Al Ahzab: 53.

Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa “hijab” adalah sesuatu yang menghalangi antara kedua pihak hingga yang satu tidak dapat melihat yang lain sama sekali.

  1. Bertentangan dengan makna “Hijab” dalam As Sunnah

 

Hlm. 25-26 tentang Perbedaan Hijab dan Libas

v  Hijab adalah penghalang antara laki-laki dan wanita untuk saling melihat. Oleh karena itu Allah berfirman, “Yang demikian itu lebih menyucikan hati kamu dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)

v  Libas (pakaian, busana) adalah yang biasa dipakai kaum wanita –meskipun sampai menutup wajahnya– masih memungkinkan wanita memandang laki-laki.

v  Hijab itu dikhususkan bagi istri-istri Nabi, sedangkan libas tidak ada pengkhususan. Berlaku untuk semua tanpa terkecuali. Apabila istri-istri Nabi hendak keluar untuk suatu keperluan, mereka mengenakan libas syar’i namun yang demikian itu tidak dinamakan hijab.

v  Peraturan hijab sebagai adab untuk istri-istri Nabi adalah untuk menjaga dan membedakan istri-istri Nabi saw dari wanita-wanita yang lain, sbg persiapan bagi mereka untuk menghindari kesenangan duniawi dan untuk hidup menyendiri karena mereka tidak boleh kawin lagi setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal ini sbg penerapan firman Allah pada ujung ayat hijab, Al Ahzab ayat 53.

 

Hlm. 27-33 tentang Tujuan Syariat Pakaian Wanita

v  Tujuan syariat:

  1. Menutup aurat dan menjaga jangan terjadi fitnah

–          Fitnah kepada wanita lebih besar dari laki-laki

–          Perbedaan lapangan kerja (kewajiban) pokok antara wanita dengan laki-laki

  1. Membedakannya dari wanita lain dan sebagai penghormatan bagi wanita muslimah tersebut

–          Tingkat ketaatan dan penjagaan serta pemeliharaan diri

–          Tingkatan hukuman

v  Dalam Islam, memuliakan dan menghormati muslimah yang merdeka dan membedakannya dari budak merupakan metode pembedaan yang bagus karena tidak didasarkan pada bermegah-megahan pangkat, kedudukan (status sosial), harta (status ekonomi), dan kekuasaan, melainkan dengan tindakan mulia, yaitu ketaatan dan penjagaan serta pemeliharaan diri dari keburukan.

v  Tubuh wanita secara umum mengandung fitnah, dan di samping itu kita melihat syariat menetapkan tiga tingkatan menutup tubuh bagi wanita mukmin:

  1. Tingkatan pertama, khusus bagi Ummul Mukminin (istri-istri Nabi Saw). Mereka harus menutup diri dari pandangan laki-laki kecuali ketika sedang keluar rumah. Dalil: Al Ahzab: 53.
  2. Tingkatan kedua, bagi wanita mukmin yang merdeka. Mereka harus menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Dalil: QS. An Nur: 31.
  3. Tingkatan ketiga, bagi wanita budak yang beriman. Mereka berhak (dan kadang-kadang harus) membuka kepalanya dan sebagian anggota tubuhnya (sebagian lengan dan betis bagian bawah). Imam Malik berkata mengenai wanita budak yang melakukan shalat dengan tidak mengenakan kain penutup kepala, “Itu adalah sunnahnya…”

Umar Ra apabila melihat wanita budak memakai kerudung, dia memukulnya seraya berkata, “Apakah engkau hendak menyerupai wanita merdeka, wahai wanita bodoh!”

Pengingkaran Umar Ra ini adalah thdp keserupaan identitas wanita budak dengan wanita merdeka mengenai pakaian luar, sedang wanita-wanita budak itu pada umumnya suka bertindak sembrono atau kurang menjaga dirinya terhadap hal-hal yang terlarang. Apabila keserupaan lahiriyah (bukan batiniyah) ini terjadi, maka hilanglah ciri khusus wanita-wanita merdeka yang tinggi kedudukannya karena menjaga diri dari hal-hal yang terlarang; dan keserupaan lahiriyah ini tak diragukan lagi dapat menimbulkan dampak negatif bagi wanita-wanita merdeka itu. Dalil: Al Ahzab: 59.

v  Masing-masing tingkat penutupan aurat (dengan tingkat kemuliaan kedudukannya) memiliki tingkat hukuman (sanksi) tersendiri jika yang bersangkutan melakukan perbuatan keji (pelanggaran). Ummahatul mukminin yang tingkat penutupan aurat dan kemuliaannya paling tinggi, hukumannya dua kali lipat hukuman wanita merdeka (yang bukan istri Nabi Saw). Sedang wanita merdeka yang tingkat kemuliaannya sedang (tengah-tengah), hukumannya dua kali lipat hukuman wanita budak yang tingkatannya paling rendah. Dalil: Al Ahzab: 30. “Apabila mereka (wanita budak) mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”

Hlm. 34-35 tentang Pakaian: Antara Simbol dan Esensi

v  Pakaian dalam bentuk dan warnanya adalah simbol, tetapi hakekatnya menggambarkan suatu esensi karena pakaian yang dipilih oleh wanita atau pria harus memenuhi fungsinya. Pertama, utk menutup tubuh. Kedua, berlindung dari panas dan dingin. Ketiga, agar tampil bagus. Begitulah fungsi pakaian pada umumnya. Akan tetapi muslimah harus melengkapinya dengan pakaian taqwa, “Dan pakaian taqwa itulah yang lebih baik” (QS. Al A’raf: 26), dan dicelup dengan pemeliharaan dan penjagaan diri, “Celupan Allah, dan siapakah yang lebih baik celupannya selain Allah?” (QS. Al Baqarah: 138).

Hlm. 39 tentang Syarat Pakaian Wanita

v  Apabila di hadapan laki-laki bukan mahram, maka pakaian wanita itu harus memenuhi lima syarat berikut, yaitu:

  1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah, tangan, (dan kaki)
  2. Sederhana dalam menghiasi pakaian, wajah, tangan, (dan kaki)
  3. Pakaian dan perhiasan itu harus yang dikenal oleh masyarakat Islam
  4. Harus berbeda dengan pakaian laki-laki
  5. Harus berbeda dengan pakaian wanita kafir

< />

Munafiq

ah Tuhan,

andai saja aku tahu apa yang Kau tahu,

maka aku ingin tahu perkara apa saja yang Kau tahu di dalam hatiku

*

andai saja aku dengar apa yang Kau dengar,

maka aku ingin dengar perkataan apa saja yang Kau dengar dari bibir dan hatiku yang ialah dusta

*

andai saja aku melihat apa yang Kaulihat,

maka aku ingin lihat apa saja yang Kaulihat dan Kaunilai ikhlas dari perbuatanku

**

andai saja… ya, andai saja Tuhan…

aku dapat bertanya, munafiqkah aku di mata-Mu?

dan ketika Kau hendak membisikkan jawabannya, pasti aku akan menghindar, membatalkan keinginanku,

karena sungguh, Aku takut atas jawaban-Mu…

**

Tidak! Tidak, Tuhan. Jangan beritahu dengan kalimat-Mu.

Rasanya dengan adzab-Mu, itu akan lebih terbayar.

Astaghfirullaah…

Jangan benci aku, Allah…

Wal Layli idzaa Yaghsyaa

”Dan kejahatan malam apabila gelap gulita.” (QS. Al Falaq [113]: 3)

Allah telah menetapkan, maka siapa yang bisa mengubahnya?

 

Allah telah mengatakan, malam itu identik dengan kejahatan, maka siapa yang berani mengingkarinya?

 

Malam. Aj Jalla berkali-kali mengungkapkan bahwa ia adalah Ay Yaghsya, yang menutupi (cahaya siang) atau sang gelap gulita. Ia penuh misteri, baik keindahan maupun keburukan.  Ia tentang keindahan akan langit yang memijar, berbaris bintang dalam gugusan, dikomandani oleh Al Qamar. Atau ialah keburukan atas makhluk-Nya, kekhilafan jiwa-jiwa yang tak tenang, beralaskan janji-janji semu syaithan akan kesenangan Al Ardh.

 

Muslimah, dari segala jenis dan karakteristiknya, terkadang masih dalam keraguan atas syari’at berada di luar rumah. Utamanya tatkala mentari telah tergelincir dari cakrawala. Ketika adzan maghrib telah bersahutan, ketika lampu jalan dinyalakan, atau ketika angkot SSC mulai dilarang masuk tubagus. #jangantegangdonghehe

 

Sebenarnya dalam nash baik Al-Quran maupun As-Sunnah An-Nabawiyah, tidak disebutkan adanya batasan boleh keluar siang dan tidak boleh malam atau boleh dilakukan oleh aktivis muslimah atau nonaktivis. So, secara general, tulisan ini tak hanya ditujukan kepada saudari-saudariku para aktivis, namun kepada para muslimah semuanya.

 

Sayangnya, hari ini banyak muslimah yang menganggap pulang malam (selepas maghrib) adalah hal biasa. Pulang sendirian di malam hari merupakan hal lumrah. “Gue berani kok pulang sendiri,” kilah si muslimah. But girls, please, INI BUKAN SOAL BERANI ATAU TIDAK. Kalaupun aku harus malam-malam sendirian berjalan kaki dari Bandung ke Sukabumi, insya Allah aku berani. Ya, sekali lagi aku tegaskan, insya Allah aku berani. NAMUN POINNYA ADALAH APAKAH YANG AKAN TERJADI PADAKU SELAMA DI PERJALANAN? Dari mana aku tahu bahwa aku akan selamat dan utuh sampai tujuan? Bagaimana jika terjadi kejahatan? Bukankah Allah telah mengabarkan tentang kejahatan malam? Na’udzubillaah.

 

Dan salah kaprah yang terlanjur menjadi kaprah ini terus merebak di mana-mana, pelanggaran syari’at berjama’ah pun tak jarang terjadi. Terlebih yang dilakukan para aktivis muslimah kampus: himpunan, unit, kabinet/BEM, dan organisasi lainnya. Dengan berbagai alasan tidak syar’i, dengan berbagai pembenaran yang dibenar-benarkan.

 

Aku bukan muslimah suci yang tak pernah sekalipun keluar malam. Justru aku menulis ini karena aku pernah melakukannya. Lantas aku mempelajarinya, dan kemudian mengaplikasikan serta mem-bandingkan diriku saat ini dan sebelumnya. Bahkan aku tahu bagaimana rasanya berjalan di jalan sempit ataupun lebar yang gelap. Sesekali kendaraan berlalu menyapukan angin liar yang tak henti berbisik, “Berjalanlah lebih cepat, atau…”

 

Jujurlah pada hatimu saudariku, mana yang lebih kau inginkan: Keamanan dan kenyamanan di dalam rumahmukah atau kepentingan-kepentingan yang dipenting-pentingkan hingga dengan kerennya kamu keluar di malam hari?

 

Tulisan ini pun tak serta merta menunjukkan pelarangan ataupun pernyataan ketidak-setujuanku secara mutlak atas kebiasaan pulang malam. Benar, ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan. Dalam menyikapi permasalahan ini, para ulama salafusshalih telah memberikan batasan-batasan yang sangat tegas, bahwa tidak halal bagi muslimah berpergian tanpa mahram kecuali dalam tiga hal, di antaranya adalah:

1.       Menyelamatkan akidahnya,

2.       Melakukan haji (dengan sarat ada keamanan bagi si perempuan),

3.       Beberapa hal yang sifatnya darurat (misal: sedang sakit dan harus segera ke rumah sakit).

Beberapa ulama Mesir juga memperbolehkan muslimah bepergian tanpa mahram untuk menuntut ilmu, selagi negara yang dikediaminya adalah negara yang bisa menjamin keamanan muslimah tersebut. Wallaahu a’lam.

 

Cerita lain ialah seorang muslimah (sebut saja Aku) lagi-lagi membela diri dengan alasan, “Saya cukup dibutuhkan dalam kepentingan malam hari itu. Saya pun menganggap keberadaan saya penting. Di lain pihak, kepentingan itu adalah amanah saya yang menyangkut dengan laki-laki dan perempuan lainnya, yang saya tidak bisa dengan seenaknya membatalkan atau meminta perubahan jadwal.” Bagaimana dengan kasus ini?

 

Berkenaan dengan keadaan-keadaan tertentu, saya sepakat dengan keputusan sebuah syura atas sebuah acara syi’ar yang –alhamdulillaah– akhirnya batal dilaksanakan pada malam hari dengan dua pertimbangan terkait keberadaan para muslimah di dalamnya. Dua alasan tersebut antara lain:

1.       Terjamin keamanannya,

2.       Terjaga dari fitnah khalwat (bercampurnya laki-laki dan perempuan),

Tak bisa dipungkiri, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan secara otomatis sering menempatkan wanita, khususnya muslimah pada posisiposisi penting yang keberadaannya tak bisa digantikan. Ataupun jika digantikan, usaha tersebut tidak akan maksimal. Sehingga adakalanya, harus “melonggarkan” syari’at demi ‘kemaslahatan’ lain.

 

Dalam beberapa hadist:

“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar sehari semalam tidak bersama mahromnya.” [HR Bukhari: 1088; Muslim: 1339]

“Jangan seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahromnya, juga jangan safar dengan wanita kecuali bersama mahromnya, maka ada seorang lelaki berdiri lalu berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri saya pergi haji padahal saya ikut dalam sebuah peperangan. Maka Rasulullah menjawab: “Berangkatlah untuk berhaji dengan istrimu!” [HR Bukhari: 3006, 523; Muslim 1341]

“Janganlah seorang wanita safar sejauh tiga hari (perjalanan) melainkan bersama dengan mahramnya”. [HR. Imam Bukhari: 1087; Muslim: 970; dan Ahmad II/13, 19, 142-143, 182; dan Abu Dawud]

Dan masih banyak lagi hadits serupa…

 

Hadits-hadits di atas lebih menekankan pada ada-tidaknya mahram. Ulama mazhab Syafi’i dn Maliki memperbolehkan wanita pergi haji tanpa mahran atau suami asal ia berangkat dengan rombongan wanita yang dapat dipercaya. Dalam kasus safar pun insya Allah masih sejalan dengan kondisi berhaji. Penekanannya bukan pada faktor keamanan, tapi memang Allah mensyari’atkan untuk ada mahram yang mendampingi wanita tersebut. Keamanan dalam ini pasti menjadi hal “akibat” bukan “sebab”. Karena dengan tidak adanya mahram, akibatnya wanita dapat terjebak oleh fitnah atau “tangan-tangan jahat manusia”. Dan dengan adanya mahram, insya Allah keamanan muslimah dapat lebih terjaga. Wallahu a’lam.

 

Sejenak menilik pada fiqih prioritas oleh Dr. Yusuf Qardhawy, tentang menolak kemungkaran (tidak pulang malam) lebih diutamakan dari pada mendatangkan manfaat (manfaat keberadaan muslimah di luar rumah). Sungguh benar jika untuk membersihkan suatu noda atau bau pada pakaian adalah lebih tepat dengan mencucinya (menghilangkan keburukan) dibanding memberinya parfum (mendatangkan manfaat).

 

Namun bagaimana jika kemungkaran dapat diatasi dengan menjaga keselamatan sekaligus bahaya fitnah khalwat? Apakah ia tetap tidak boleh keluar malam? OK, mungkin kamu lebih tahu keadaan ‘TKP’ pada saat itu. Bisa jadi kamu beranggapan pulang malam adalah pilihan terbaik. Silakan. No problem. Namun jawaban saya, insya Allah SEBISA MUNGKIN TIDAK. Mengapa? Karena secara ilmiah, kedua alasan di atas merupakan variabel tidak terikat yang terang saja di luar kuasamu apabila seseorang ingin menyerangmu dan/atau memfitnahmu. Terlebih, zaman sekarang, fitnah tak jarang sulit diredam. Bener gak? Mmm, bisa jadi karena kamu belum pernah mengalaminya, makanya bilang gak.

 

Sedikit lebih mendasar. Bukankah pakaian yang kamu kenakan, merupakan identitas sekaligus ajakan kepada kebaikan, Saudariku? Bukankah da’wah itu tentang menegakkan syari’at Islam? Dan ketika kamu melanggar syari’at, maka tak hanya kamu yang divonis salah, namun kamu beserta apa yang kamu kenakan. Maka, generalisasi atas muslimah berjilbab (khususnya) akan menjadi kambing hitam akibat apa yang kamu lakukan. Tegakah? Mengapa tak belajar menjadi bijaksana dengan menerima syari’at islam secara keseluruhan, tidak parsial? Tentu saja SANGAT BUKAN dengan menanggalkan pakaian kemuliaan itu (lantaran masih ingin keluar malam tetapi tidak tega dengan jilbab), karena dengan begitu malah akan memperparah keadaan dan menjauhkanmu dari Dzat Yang Maha Pedih Siksa-Nya.

 

Dan lebih mengakar lagi, jika kamu khawatir akan merusak atau menurunkan kinerja tim dengan ketidakberadaanmu malam itu, mari kita tengok kembali pada firman Allah surah Muhammad ayat 7,“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”Bukankah tidak keluar malam, which is menaati syari’at, merupakan kegiatan menolong agama Allah? Jika kamu sepakat, maka masih khawatirkah kamu atas kepentingan yang kamu pentingpentingkan tadi untuk kamu tinggalkan? Atau kamu tidak percaya bahwa pertolongan Allah itu dekat?

 

 

Semoga Allah membuka hati-hati kita untuk dapat menegakkan syari’at dan izzah Islam setegak-tegak dan setinggi-tingginya.

Semoga Allah melapangkan dada ini lantaran hawa nafsu yang sering beradu dengan nurani tentang benar dan salah.

Semoga Allah mengampuni segala khilaf yang telah kita lakukan.

Dan semoga Allah menjadikan kita makhluk-makhluk pembaharu yang mengangkat panji-panji Islam setinggi-tingginya!

 

Allaahu akbar!!

 

Hanya ingin sekedar berbagi, Saudariku.

(Dengan tambahan ilmu dari Bundo Beben)

 

Wallaahu a’lam bish shawwab.

Apakah Anda (Merasa) Bermanfaat?

Tadi sore, saya berada di sebuah café dekat tempat tinggal saya. Saya biasa membeli makanan di sana karena tempatnya cenderung dekat. Ketika itu, saya sedang iseng menonton tayangan yang ditampilkan pada layar kaca yang disediakan café tersebut, sembari menunggu pesanan saya selesai disiapkan oleh sang pramusaji.

 

Tayangan yang sedang saya tonton itu sebenarnya adalah tayangan yang paling saya tidak sukai, namun ya sudahlah, toh saya tidak punya hak untuk mengganti saluran televisi. Ditambah handphone saya yang sudah keburu mati, sepertinya mencoba menikmati suguhan infotainment untuk beberapa menit di sore yang mendung ini tidak begitu masalah.

 

Akhirnya suguhan sore itu berakhir pula. Ditutu oleh sapaan lugas yang khas oleh sang presenter. Namun ada satu hal yang membuat saya mengernyitkan dahi dalam-dalam mendengar kalimat penutupnya. Kira-kira seperti ini, “Semoga acara yang kami tayangkan bermanfaat untuk Anda. Saksikan kembali acara XXX setiap hari pukul…” dan seterusnya, saya tidak ingat lagi lantaran kalimat yang presenter seksi itu katakan sontak membuat mata saya berputar ke kiri atas. Berpikir.

 

Apa yang kamu pikirkan? Adakah keanehan yang presenter tersebut katakan?

 

Bagi saya, seorang yang seringnya tidak ‘mampu’ menikmati tayangan semacam infotainment sudah mengukir keras bahwa tayangan tersebut tidak bermanfaat bagi saya. Saya tidak alih-alih menafikkan bahwa masih ada sebagian orang yang merasakan manfaat dari menikmati tayangan semacam itu. Atulah, gak masalah, karena bukan itu poin saya kali ini.

 

Hampir setiap hari kita berada di luar rumah, berinteraksi dengan makhluk Allah Swt lainnya, dengan level-level interaksi yang berbeda pula. Berbagai kegiatan pun menjadikan kita memiliki peran-peran tertentu dengan pola komunikasi dan intensitas yang berbeda. Di rumah sebagai warga kosan atau anak, kakak, adik. Di kampus, sebagai mahasiswa, pelajar, peneliti, ketua X, bendahara Y, kepala divisi Z, atau semacamnya. Di jalan, sebagai masyarakat awam dan pengguna jalan. Di angkot, sebagai penumpang. Di pasar sebagai pembeli, dan masih banyak peran-peran kita lainnya.

 

Pertanyaannya adalah, apakah keberadaan kita dalam peran-peran tersebut memiliki kebermanfaatan? Sudahkah lingkungan kita merasakan bahwa diri ini bukan hanya figuran dalam kesehariannya? Atau, kamu sudah merasa pontang-panting ‘berkorban’ dan merasa bermanfaat, namun pada kenyataannya, lingkungan tidak merasakan adanya kebermanfaatan kita? Hati-hati, jangan terlalu husnudzhan dengan diri sendiri. Singkatnya, jangan kepedean plus kege’eran, sists and bros!

 

Mengkhawatirkan, jika kita merasa lelah dengan kebermanfaatan-kebermanfaatan yang kita usahakan. Bisa jadi, hati ini tidak ikhlash melakukannya hingga kontak hati dengan para life-mates sering gangguan, alias error dan hasilnya adalah nol besar. Tidak ada kebermanfaatan yang dirasakan oleh rekan-rekan kita, kawan! Mari kita bertanya kembali pada diri, “Siapakah aku di mata teman-temanku?”

 

Sesampainya di kamar nan nyaman ini, bertataplah wajah saya dengan wajah Baby (nama netbook lucu saya ini :P). Ada  kesempatan untuk mencari-cari sedikit ilmu mengenai ciri atau tanda orang yang bermanfaat via Ustadz Google. Sayangnya saya tidak menemukannya, mungkin ikhtiar tidak maksimal. Namun pencarian memang saya hentikan ketika menemukan sebuah artikel yang cukup menarik dari bundle Manajemen Qalbu dari AA Gym.

 

Di dalamnya, beliau memaparkan bahwa menurut Emha Ainun Nadjib, atau yang akrab disapa Cak Nun, manusia dapat digolongkan menjadi lima tingkatan berdasarkan kebermanfaatannya. Semoga dari sini kita dapat mengevaluasi di manakan keberadaan level kebermanfaatan diri ini.

 

1.       Manusia Wajib

Ditandai dengan keberadaan yang sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang-orang di sekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak darinya antara lain: dia seorang pemalu yang jarang mengganggu orang lain sehingga orang lain aman darinya; perilaku lebih banyak kebaikannya; ucapan senantiasa terpelihara, hemat bicara sehingga ia lebih banyak berbuat dari pada hanya berbicara; ia tidak suka mencampuri yang bukan urusannya; adalah suatu kenikmatan tatkala ia mampu berbuat kebaikan; hari-hari tak lepas dari menjaga silaturrahim; sikap penuh wibawa dan penyabar; selalu berterima kasih, gemar bersyukur; penyantun, lemah lembut; mampu mengendalikan diri; penuh kasih sayang, berwajah cerah dan ramah yang menjadi sejuk; serta mencintai dan membenci karena Allah.

 

Jika saja manusia berakhlak mulia ini tak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan. Akan terasa ada sesuatu yg kosong di rongga qalbu ini. Manusia wajib ada pasti penuh manfaat dan kalau tak ada siapapun akan merasa kehilangan. Tandanya kebanyakan? Itu artinya insya Allah Swt banyak peluang menjadi manusia wajib. Semakin full-specification, semakin dirindukan pula ia. Insya Allah.

 

2.       Manusia Sunnah

Keberadaannya bermanfaat, namun kalaupun ia tak ada, tak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan amal belum dari lubuk hati yg paling dalam atau ikhlas karena Allah Swt. Begitulah, hati akan tersentuh oleh hati pula. Seperti hal kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga qalbu siapapun.

 

3.       Manusia Mubah

Keberadaan dan ketidakberadaannya tak berpengaruh. Di kelas, kuliah atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika tidak berada di rumah/kost, keadaannya berantakan. Namun ketika ia pulangpun keadaan tetap berantakan. Inilah ciri manusia mubah. Ada dan tiada tak membawa manfaat dan tak juga membawa mudharat.

 

4.       Manusia Makruh

Keberadaannya justru membawa mudharat dan kalau dia tak ada, tak berpengaruh. Jika ia datang ke suatu tempat, maka orang lain akan merasa bosan atau tak senang. Misal ada seorang anak yang jika ia pulang ke rumah, maka keadaan rumah menjadi tidak nyaman. Namun jika ia tak pulang, suasana malah menjadi aman tentram. Ibu yang makruh diharapkan anak-anak untuk segera pergi arisan daripada berada di rumah. Sedangkan pekerja yang makruh kehadiran di tempat kerja hanya melakukan hal yang sia-sia daripada bersungguh-sungguh menunaikan tugas kerja.

 

5.       Manusia Haram

Terakhir adalah manusia haram. Keberadaannya malah dianggap menjadi musibah sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jika saja dia pergi kuliah, suasana kelas menjadi tidak kondusif dan dosen menjadi enggan mengajar. Jika dia menghampiri teman-teman yang sedang ASIK bercerita dan bercanda, seketika ia datang, obrolan menjadi tidak nyaman dan sedikit demi sedikit orang-orang di tempat tersebut akan berpindah.

 

Begitu pula terhadap lingkungan kita harus punya akhlak tersendiri. Seperti pada binatang, kalau tidak perlu, maka tidak perlu kita menyakitinya. Ada riwayat seorang ibu ahli ibadah tapi Allah Swt malah mencap sebagai ahli neraka. Mengapa? Ternyata karena si ibu ahli ibadah ini pernah mengurung kucing dalam sebuah tempat sehingga si kucing tak mendapatkan jalan keluar utk mencari makan padahal oleh si ibu tidak pula diberi makan sampai akhir kucing itu mati. Walau si ibu ini ahli ibadah, tapi Allah Swt melaknatnya karena akhlak pada makhluk tidak baik.

 

Kadang aneh ketika kita duduk di taman nan hijau entah sadar atau tidak, kita mencabuti rumput atau daun-daunan yang ada tanpa alasan yang jelas. Padahal rumput, daun, dan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam semesta ini semua sedang bertasbih kepada-Nya. Yang paling baik adalah jangan sampai ada makhluk apapun di lingkungan kita yang tersakiti.

 

Mari kita bersama-sama merenungi kembali makna diri dalam kehidupan. Sudahkan orang lain merasa nyaman dengan diri kita? Sudahkah diri ini merefleksikan akhlak-akhlak Islami yang begitu indahnya? Ketika bercermin, alangkah baiknya jika tak hanya memperhatikan wajah, namun pandanglah akhlak dan perbuatan yang kita lakukan oleh si pemilik wajah tersebut. Sayangnya, jarang ada manusia yang berani jujur kepada dirinya. Sebaliknya, ia sering merasa pintar, padahal bodoh. Merasa kaya, padahal miskin. Atau merasa terhormat, padahal hina. Padahal untuk berakhlak mulia kepada manusia, hendaklah dimulai dengan berlaku jujur kepada diri sendiri.

 

Tulisan ini hanya sedikit dari hikmah yang tercecer di alam semesta ini. Semoga kita menjadi manusia yang peka terhadap segala kelemahan dan diberi kekuatan serta kemauan oleh-Nya dalam usaha perbaikan diri. Terus berusaha melakukan yang terbaik kepada Allah Swt dan makhluk lain, agar diberi gelar oleh Allah Swt sebagai makhluk yang bermanfaat. Insya Allah. Wallahu a’lam. 🙂

“Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaat bagi orang lain.” (HR. Bukhari)

Distorsi Kebijakan Energi di Indonesia

Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, penyediaan, dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara.

Dasar pemikiran negara atas pengelolaan energi ini sejalan dengan hadits Rasulullah Saw, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Harga (menjualbelikannya) adalah haram.”[1] Dan yang ditafsirkan sebagai api di sini adalah material-material yang dapat menghasilkan energi. Dalam cakupan yang lebih sempit, perdagangan energi dalam pandangan Islam adalah terlarang. Kata ‘berserikat’ menjelaskan bahwa energi merupakan salah satu kekayaan yang tidak boleh dikuasai secara pribadi, atau disebut dengan privatisasi.

Larangan penguasaan energi secara pribadi dipertegas oleh hadits yang lain. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah Saw agar diperbolehkan untuk mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah Saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.’ Rasulullah Saw kemudian menarik kembali tambang tersebut darinya.[2] Maksud dari ‘bagaikan air yang mengalir’ adalah sesuatu yang melimpah, sehingga Rasulullah pun menarik kembali tambang tersebut, lantaran sesuatu yang melimpah di alam harus digunakan secara bersama-sama.

Namun pada pengamalannya, pasal 33 diterjemahkan sebagai perekonomian yang ditopang oleh tiga pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta, yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan.[3] Penafsiran dari kalimat ‘dikuasai oleh negara’ dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan, tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam fungsi pengendalian tersebut, pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi secara bertahap, dan tak jarang dilengkapi dengan amandemen.

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang kaya akan sumber daya. Negara ini dihuni oleh sekitar 240 juta jiwa[4] yang pertumbuhannya diperkirakan sebesar 1,5-2% per tahun.[5] Semakin banyak jumlah penduduk, maka kebutuhan energi semakin lama semakin meningkat. Di Indonesia, pemenuhan kebutuhan energi sangat terkait dengan pengadaan bahan bakar fosil. Malah sudah sampai pada level ketergantungan. Padahal, harga energi jenis ini cenderung fluktuatif dan tergolong mahal. Ditambah lagi, bahan bakar fosil diperkirakan akan tetap menjadi primadona hingga tahun 2020 mendatang.[6]

Dalam syariat Islam, dikenal tiga jenis kepemilikan. Pertama, kepemilikan pribadi. Kepemilikan ini dapat dimiliki secara individual, misalnya pakaian dan tempat tinggal. Kedua, kepemilikan negara, berupa aset seperti kantor pemerintahan dan perusahaan negara. Serta ketiga, kepemilikan umum. Kepemilikan oleh seluruh rakyat, bukan milik pribadi maupun negara. Segala bentuknya tidak boleh diprivatisasi, baik secara perorangan maupun perusahaan. Pengelolaan kepemilikan umum dilakukan oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada sang pemilik, yaitu rakyat.

Beberapa pencederaan pasal 33, sebagai dasar pemikiran negara dalam mengelola energi, tecermin pada beberapa titik regulasi dalam perjuangan menuju kemandirian energi nasional. Salah satu di antaranya adalah UU Migas No.22 tahun 2001, undang-undang pengganti UU No.8 tahun 1971 yang dikenal dengan UU Pertamina. Poin-poin dalam UU Migas semakin mendorong sumber daya energi sebagai komoditas dagang, ketimbang sebagai kebutuhan strategis suatu negara untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya.

Dua di antara poin-poin UU Migas No.22 tahun 2001 yakni pasal 22 ayat 1 yang berbunyi, “Badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri”, dan pasal 28 ayat 2 yang berbunyi, “Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Meski pasal 28 ayat 2 telah diamandemen pada tahun 2004, pengamalan amandemen tersebut pun tidak terlihat konkret. Hal ini terlihat dari semakin kerdilnya bargaining position Pertamina sebagai National Oil Company (NCO) Indonesia, jika dibandingkan dengan Multi-national Company (MNC) seperti Chevron, Shell, Total, dan sebagainya. Regulasi ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah dalam menyediakan sumber daya energi sebagai hak milik rakyat.

Berbagai kekisruhan muncul sejak pencanangan undang-undang ini, salah satunya adalah penurunan jumlah produksi minyak. Penurunan jumlah produksi bahan bakar minyak ini menimbulkan krisis dan kenaikan harga. Pada tahun 2009, total produksi minyak bahkan tidak mencapai angka satu juta barel, yakni berkisar pada 956 ribu barel.[7] Fenomena ini terjadi karena penurunan jumlah investor akibat regulasi-regulasi yang tidak memudahkan mereka. Selain itu, dengan melemparkan harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi pada mekanisme persaingan usaha, pemenuhan kebutuhan energi menjadi tergantung pada fluktuasi harga minyak dunia. Ini akan semakin mencekik masyarakat Indonesia mengingat ketergantungan akan bahan bakar minyak yang tinggi. Dan tidak seharusnya pemimpin negara tenang-tenang saja mendapati keadaan energi di negaranya seperti ini. “Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan dia mati, sedangkan dia menipu mereka (ummat), maka Allah akan mengharamkan ia masuk ke dalam surga.”[8]

Perlu digarisbawahi, keberadaan masyarakat bukan hanya sebagai objek kerja pemerintah. Lebih dari itu, masyarakat memiliki hak sebagai pengawas serta pengawal pemerintah dalam mewujudkan visi dan misi negara. Hal ini penting, mengingat urgensi kerjasama antara pemerintah dengan rakyat. Terutama pemerintah sebagai pemegang amanah terbesar pada suatu negara. “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.”[9] Sebagai saudara seiman, dan demi kepentingan ummat, sangatlah penting untuk masyarakat berani bersuara kepada pemerintah. Terlebih bagi kalangan yang memang mendalami bidang terkait. “Dan janganlah kamu campur-adukkan kebenaran dan kebathilan, dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedang kamu mengetahuinya.”[10]

Pemimpin yang tidak adil atas rizqi yang diberikan oleh Allah serta menelantarkan rakyatnya, tergolong pada perbuatan kerusakan, dan hal tersebut adalah tindakan yang dzalim. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah, ‘Adakanlah perjalanan dimuka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).’”[11]

Kesimpulannya, ketidaksejahteraan energi masyarakat Indonesia juga terjadi karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tak lagi memihak kepada rakyat. Berseberangan dengan dasar pemikiran yang tertuang pada pasal 33 UUD 1945. Berbagai regulasi yang keluarkan pemerintah belakangan menempatkan negara sebagai subordinasi pemilik modal dan hanyut dalam arus kapitalisme global. Oleh karena itu, dalam mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan energi yang adil bagi masyarakat Indonesia, pemerintah harus menerapkan sistem kepemilikan umum sebagai sistem pengelolaan energi nasional. Dan lebih mendasar lagi, transformasi sistem pemerintahan harus dilakukan menuju Indonesia yang berbasis syariat Islam.

 

 

Ratna Nataliani

Penulis adalah mahasiswi program studi Teknik Fisika ITB


[1] HR. Abu Dawud

[2] HR. At Tirmidzi

[3] Indrawati, 2005

[4] Wood Mackenzie, December 2009

[5] MT Zen, 2005

[6] Analisis Centre For Strategic And International Studies vol.36, No.1

[7] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI

[8] HR. Bukhari dan Muslim

[9] HR. Bukhari dan Muslim

[10] TQS. Al Baqarah [2]: 42

[11] TQS. Ar Rum [30]: 41-42

Siapakah Kau, Perempuan Sempurna? (Sebuah catatan kecil Afifah Afra)

Ketika akhirnya saya dilamar oleh seorang lelaki, saya luruh dalam kelegaan. Apalagi lelaki itu, kelihatannya ‘relatif’ sempurna. Hapalannya banyak, shalih, pintar. Ia juga seorang aktivis dakwah yang sudah cukup matang. Kurang apa coba?

Saya merasa sombong! Ketika melihat para lajang kemudian diwisuda sebagai pengantin, saya secara tak sadar membandingkan, lebih keren mana suaminya dengan suami saya.

Sampai akhirnya air mata saya harus mengucur begitu deras, ketika suatu hari menekuri 3 ayat terakhir surat At-Tahrim. Sebenarnya, sebagian besar ayat dalam surat ini sudah mulai saya hapal sekitar 10 tahun silam, saat saya masih semester awal kuliah. Akan tetapi, banyak hapalan saya menguap, dan harus kembali mengucur bak air hujan ketika saya menjadi satu grup dengan seorang calon hafidzah di kelompok pengajian yang rutin saya ikuti.

Ini terjemah ayat tersebut:

66:10. Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.

66:11. Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim”,

66: 12. dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.

SEBUAH KONTRADIKSI

Ada 4 orang yang disebut dalam 3 ayat tersebut. Mereka adalah Istri Nuh, Istri Luth, Istri Firaun dan Maryam. Istri Nuh (IN), dan Istri Luth (IL) adalah symbol perempuan kafir, sedangkan Istri Firaun (IF) dan Maryam (M), adalah symbol perempuan beriman. Saya terkejut, takjub dan ternganga ketika menyadari bahwa ada sebuah kontradiksi yang sangat kuat. Allah memberikan sebuah permisalan nan ironis. Mengapa begitu?

IN dan IL adalah contoh perempuan yang berada dalam pengawasan lelaki shalih. Suami-suami mereka setaraf Nabi (bandingkan dengan suami saya! Tak ada apa-apanya, bukan?). Akan tetapi mereka berkhianat, sehingga dikatakanlah kepada mereka, waqilad khulannaaro ma’ad daakhiliin… Sedangkan antitesa dari mereka, Allah bentangkan kehidupan IF (Asiyah binti Muzahim) dan M. Hebatnya, IF adalah istri seorang thaghut, pembangkang sejati yang berkoar-koar menyebut “ana rabbakumul a’la.” Dan Maryam, ia bahkan tak memiliki suami. Ia rajin beribadah, dan Allah tiba-tiba berkehendak meniupkan ruh dalam rahimnya. Akan tetapi, cahaya iman membuat mereka mampu tetap bertahan di jalan kebenaran. Sehingga Allah memujinya, wa kaanat minal qaanithiin…

PEREMPUAN SEMPURNA

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik wanita penghuni surga itu adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim istri Firaun, dan Maryam binti Imran.” (HR. Ahmad 2720, berderajat shahih). Empat perempuan itu dipuji sebagai sebaik-baik wanita penghuni surga. Akan tetapi, Rasulullah saw. masih membuat strata lagi dari 4 orang tersebut. Terpilihlah dua perempuan yang disebut sebagai perempuan sempurna. Rasul bersabda, “Banyak lelaki yang sempurna, tetapi tiada wanita yang sempurna kecuali Asiyah istri Firaun dan Maryam binti Imran. Sesungguhnya keutamaan Asiyah dibandingkan sekalian wanita adalah sebagaimana keutamaan bubur roti gandum dibandingkan dengan makanan lainnya.” (Shahih al-Bukhari no. 3411).

Inilah yang membuat saya terkejut! Bahkan perempuan sekelas Fathimah dan Khadijah pun masih ‘kalah’ dibanding Asiyah IF dan Maryam binti Imran. Apakah gerangan yang membuat Rasul menilai semacam itu?

Ah, saya bukan seorang mufassir ataupun ahli hadits. Namun, dalam keterbatasan yang saya mengerti, tiba-tiba saya sedikit meraba-reba, bahwa penyebabnya adalah karena keberadaan suami. Khadijah, ia perempuan hebat, namun ia tak sempurna, karena ia diback-up total oleh Muhammad saw., seorang lelaki hebat. Fathimah, ia dahsyat, namun ia tak sempurna, karena ada Ali bin Abi Thalib kw, seorang pemuda mukmin yang tangguh.

Sedangkan Asiyah? Saat ia menanggung deraan hidup yang begitu dahsyat, kepada siapa ia menyandarkan tubuhnya, karena justru yang menyiksanya adalah suaminya sendiri. Siksaan yang membuat ia berdoa, dengan gemetar, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim.” Siksaan yang membuat nyawanya terbang, ah… tidak mati, namun menuju surga. Mendapatkan rizki dan bersukaria dengan para penduduk akhirat.

Bagaimana pula dengan Maryam? Ia seorang lajang yang dipilih Allah untuk menjadi ibunda bagi Nabi Isa. Kepada siapa ia mengadu atas tindasan kaumnya yang menuduh ia sebagai pezina? Pantas jika Rasul menyebut mereka: Perempuan sempurna…

JADI, YANG MENGANTAR ke Surga, Adalah Amalan Kita

Jadi, bukan karena (sekadar) lelaki shalih yang menjadi pendamping kita. Suami yang baik, memang akan menuntun kita menuju jalan ke surga, mempermudah kita dalam menjalankan perintah agama. Namun, jemari akan teracung pada para perempuan yang dengan kelajangannya (namun bukan sengaja melajang), atau dengan kondisi suaminya yang memprihatinkan (yang juga bukan karena kehendak kita), ternyata tetap bisa beramal dan cemerlang dalam cahaya iman. Kalian adalah Maryam-Maryam dan Asiyah-Asiyah, yang lebih hebat dari Khadijah-Khadijah dan Fathimah-Fathimah. Sebaliknya, alangkah hinanya para perempuan yang memiliki suami-suami nan shalih, namun pada kenyataannya, mereka tak lebih dari istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth. Yang alih-alih mendukung suami dalam dakwah, namun justru menggelendot manja, “Mas… kok pergi pengajian terus sih, sekali-kali libur dong!” Atau, “Mas, aku pengin beli motor yang bagus, gimana kalau Mas korupsi aja…” Benar, bahwa istri hebat ada di samping suami hebat. Namun, lebih hebat lagi adalah istri yang tetap bisa hebat meskipun terpaksa bersuamikan orang tak hebat, atau bahkan tetapi melajang karena berbagai sebab nan syar’i. Dan betapa rendahnya istri yang tak hebat, padahal suaminya orang hebat dan membentangkan baginya berbagai kemudahan untuk menjadi hebat. Hebat sebagai hamba Allah! Wallahu a’lam bish-shawwab.

copas dari..http://zanikhan.multiply.com/journal/item/12821

Ash Shabr (1)

Semakin tinggi pohon, maka semakin besar pula terpaan yang dihadapinya. Semakin tegas angin yang menampar rantingnya. Semakin beringas pula badai yang melantakkan julangnya.

Ia mencoba bertahan, dan bertahan. Ia kerahkan segala ikatan akar pada tanah ia berpijak. Tak seperti biasanya. Angin dan badai ini layaknya murka tuhannya pada para pembangkang. Kekhawatiran menyelimuti tubuhnya. Segera ia hapuskan lamunan itu. “Tidak! Ini ujian tuhan atas akarku, batangku, dahan, ranting, dan buahku.”

“Ya, tuhanku ingin melihat. Sejauh apa aku dapat bertahan.” Tegasnya dalam hati.

Satu, dua buahnya berjatuhan.

Sepuluh, dua puluh daunnya berguguran.

“Badai apa ini, tuhan? Mengapa buah dan daunku bergelimpangan? Murkakah Engkau padaku?” Ia mulai merintih.

Sekali lagi, ia sangat tertekan. Sempat ia kehabisan akal menahan ketegarannya. Sempat ia menangis sejadinya, meluapkan ketakutannya. Akan kebenaran bila, ini benar murka tuhannya.

Saat ini badai masih merambah ke setiap jaringan tubuhnya. Air dan angin menelusup pori. Mereka terlihat menyerangnya dari segala sudut. Bahkan bukan saja dari luar, namun juga dari dalam. Kegigihan badai yang mendekapnya, seakan jujur berkata, “Membunuhmu bukanlah hal yang sukar.” Tetapi pohon tak ingin mendengarnya. Ia yakin bahwa ia takkan menyerah. Dengan percaya diri ia menanggapi badai, “Lihatlah siapa yang akan menyerah pada keadaan. Tunggulah saat kita mendapati siapa yang lebih bersabar di antara kita. Aku, karena tuhankukah. Atau kamu.”

Masih. Hingga kini pohon masih berupaya untuk dapat terus bertahan. Ia sadar sekali, badai ini tak seperti biasanya. Badai ini sangat kuat dan serangannya dari segala penjuru. Atau mungkin ia hanya lupa bahwa sebelumnya pernah datang, suatu badai yang lebih dahsyat, yang telah ia lewati. Terpaannya jauh melebihi dari badai ini.

Namun bagaimanapun badai menghantamnya, ia hanya butuh percaya kepada tuhannya. Inna ma’al ‘usri yusra. Maka, kini ia masih bersabar. Dan ia ingin terus bersabar. Ia pun berdoa kepada tuhannya, “Yaa Rabbiy. Engkau Yang Maha Sabar.. Kau yang menyuruh kami untuk bersabar.. Dan Engkau pula mencintai hamba-hamba-Mu yang bersabar.. maka berikan aku kesabaran dari-Mu, Yaa Shabur.. agar aku termasuk orang-orang yang Kaucintai.. Aamiiin..”

Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzul Hijjah

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepadaRasulullah, Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan segenap sahabatnya.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rahimahullah, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu Sepuluh hari dari bulan Dzul Hijjah. Mereka bertanya: Yaa Rasulullah, tidak juga jihad fi sabiilillaah? Beliau menjawab: Tidak juga jihad fii sabiilillaah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun”.

Imam Ahmad, Rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzul Hijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid”.


MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN


1. Melaksanakan Ibadah Haji dan Umrah
Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga”.

2. Berpuasa selama hari-hari tersebut, atau pada sebagiannya, terutama pada hari Arafah
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama,dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: ”Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku”.


Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun“. (Hadits Muttafaq ‘Alaih).

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Rahimahullah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya”.

3. Takbir dan Dzikir pada Hari-hari Tersebut
Sebagaimana firman Allah Ta’ala. “…. dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah
ditentukan …”. (Al-Hajj : 28). Ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzul Hijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu.

“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid”. (Hadits Riwayat Ahmad).

Imam Bukhari Rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orang pun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq Rahimahullah meriwayatkan dari fuqaha’, tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu.” Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah”.

Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah. Artinya: “Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu …” (Al-Baqarah: 185)

Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul ada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do’a, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain. Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti: takbir, tasbih dan do’a-do’a lainnya yang disyariatkan.


4. Taubat serta Meninggalkan Segala Maksiat dan Dosa
Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta’atan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya: “Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi).

5. Banyak Beramal Shalih
Berupa ibadah sunat seperti: shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipatgandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.

6. Disyariatkan pada Hari-hari itu Takbir Muthlaq
Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama’ah; bagi selain jama’ah haji dimulai dari sejak Zhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.

7. Berkurban pada Hari Raya Qurban dan Hari-hari Tasyriq
Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta’ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya: “Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu”. (Muttafaq ‘Alaihi).

8. Dilarang Mencabut atau Memotong Rambut dan Kuku bagi orang yang hendak Berkurban
Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu ‘Anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya: “Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya“.

Dalam riwayat lain: “Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban”.

Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya.
Firman Allah. Artinya: ”… dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan…” (Al-Baqarah: 196). Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

9. Melaksanakan Shalat Iedul Adha dan mendengarkan Khutbahnya
Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti: nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.

10. Selain hal-hal yang telah disebutkan diatas
Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.

 

Semoga Allah melimpahkan taufiq-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

Penulis: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin